Senin, 12 Desember 2011

care of survivors abuse and violence

A. Definisi Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009). 1. Penganiayaan Anak Child abuse yaitu tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi (David Gill, 1973) a. Child Abuse yaitu perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual (Synder, 1983). b. Child Abuse adalah penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak, dimana ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak. 2. Penganiayaan Lansia Tindakan yang disengaja atau kelalaian terhadap lansia baik dalam bentuk malnutrisi, fisik/tenaga atau luka fisik, psikologis oleh orang lain yang disebabkan adanya kegagalan pemberian asuhan, nutrisi, pakaian, pengawasan, pelayanan medis,rehabilitasi dan perlindungan yang dibutuhkan. 3. Penganiayaan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh penyerangan dan pemaksaan, termasuk penyerangan secara fisik, seksual, dan psikologis, demikian pula pemaksaan secara ekonomi yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap pasangan intim mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri mereka (Ichamor, 2009). B. Asuhan Keperawatan 1. Penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami/istri, dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiayaan dan perilaku kekerasan yang tidak dapat diterima bila dilakukan orang yang tidak dikenal sering kali ditoleransi selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat yang paling berbahaya bagi korban. studi penelitian mengidentifikasi beberapa karakteristik umum kekerasan dalam keluarga tanpa memerhatikan tipe penganiayaan. Isolasi Sosial Salah satu karakteristik kekerasan dalam keluarga ialah isolasi sosial. Anggota keluarga ini merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang lain datang ke rumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami penganiayaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung, atau hewan peliharaan mereka akan dibunuh jika orang di luar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri “urusan keluarga yang pribadi.” Kekuasaan dan Kontrol Anggota keluarga yang melakukan penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial. Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau diizinkanuntuk meluangkan waktu di luar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya menyebabkan peningkatan perilaku kekeraan (Singer et al., 1995). Penyalahgunaan Alkohol dan Obat-Obatan Lain Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan hubungan sebab dan akibat alkohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya; sebaliknya, penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan lain. Lima puluh sampai sembilan puluh persen pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Jumlah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50% (Commission on Domestic Violence, 1999). Akan tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol dapat mengurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebih intens atau sering (Denham, 1995). Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDC’s Division of Violence Prevention melaporkan bahwa studi yang berlebihan yang dikaitkan dengan penganiayaan seksual. Selain itu, penggunaan flunitrazepam (Rohypnol) digunakan untuk mengurangi korban potensial pemerkosaan terhadap pasangan kencan meningkat di Amerika serikat walaupun tersebut legal (Smith, Wesson, & Calhoun, 1999). Proses Transmisi Antargenerasi Proses transmisi antargenerasi berarti bahwa pola perilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial (Humphreys, 1997; Tyara, 1996). Transmisi antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola perilaku yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Statistik menunjukkan bahwa sepertiga pria penganiaya cenderung berasal dari rumah tangga yang terdapat tindak kekerasan, yang didalamnya mereka menyaksikan pemukulan terhadap istri atau mereka sendiri dianiaya. Lima puluh persen wanita yang tumbuh di rumah yang di dalamnya terjadi kekerasan lebih cenderung mengira atau menerima tindak kekerasan dalam hubungan yang mereka jalin (Singer et al, 1995). Akan tetapi, tidak semua orang yangmenyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan perilaku kekerasan yang terus ada. Pertimbangan Budaya Commision on Domestic Violence (1999) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga memengaruhi keluarga dari seluruh etnik, ras, usia, asal negara, orientasi seksual, agama, dan latar belakang sosiolekonomi. Akan tetapi, populasi spesifik yang dibahas oleh komisi tersebut ialah wanita imigran. Wanita imigran yang disiksa menghadapi masalah hukum, sosial, dan ekonomi yang berbeda dari mereka yang merupakan negara Amerika Serikat, apalagi mereka berasal dari latar belakang budaya, ras, atau etnik yang berbeda : a. Wanita yang disiksa mungkin berasal dari budaya yang menerima kekerasan dalam rumah tangga. b. Ia mungkin yakin bahwa ia kurang memiliki akses ke layanan hukum dan sosial daripada warga negara. c. Apabila ia bukan warga negara, ia mungkin dipaksa untuk meninggalkan Amerika Serikat jika ia mencari sanksi hukum atas perlakuan suaminya atau berupaya meninggalkannya. d. Ia terisolasi oleh dinamika budaya yaang tidak mengizinkannya untuk meninggalkan suami; dari segi ekonomi, ia mungkin tidak mampu mendapatkan penghasilan untuk meninggalkan suaminya, bekerja, atau menempuh pendidikan di sekolah. e. Barier bahasa dapat menghambat kemampuannya untuk menghubungi991, mempelajari hak-haknya atau pemilihan umum, atau memperoleh tempat tinggal, bantuan finansial atau makan. 2. Penganiayaan Pasangan Penganiayaan pasangan ialah perlakuan semena-mena atau penyalahgunaan seseorang oleh orang lain dalam konteks hubungan intim. Penganiayaan dapat berupa penganiayaan emosional, psikologis, fisik, seksual, atau kombinasi semua tipe tersebut, yang umum terjadi (Singer et al., 1995). Penganiayaan psikologis atau emosional antara lain mengejek, meremehkan, berteriak dan memekik, merusak barang, dan mengancam, serita bentuk penganiayaan yang lebih tidak kentara, misalnya menolak berbicara dengan korban. Penganiayaan fisik dapat berkisar dari mendorong dna mendesak sampai pemukulan berat dan mencekik, yang menyebabkan ekstermitas dan tulang iga patah, perdarahan internal, kerusakan otak, dan bahkan pembunuhan. Penganiayaan seksual meliputi serangan fisik selama hubungan seksual, misalnya menggigit puting, menjambak rambut, menampar dan memukul serta memerkosa. Gambaran klinis Seorang suami penganiaya sering yakin bahwa istrinya adalah miliknya, sama seperti harta milik, dan ia semakin keras dan kejam jika istrinya menunjukkan tanda kemandirian, misalnya mendapatkan pekerjaan atau mengancam akan bercerai. Penganiaya tipikal biasanya belum dewasa secara emosional dan sangat miskin, memiliki perasaan tidak mampu yang kuat dan harga diri rendah, memiliki keterampilan sosial dan keterampilan penyelesaian masalah yang buruk, dan secara irasional pencemburu dan posesif. Ia bahkan cemburu terhadap perhatian istri kepada anak-anak mereka sendiri, dan sering memukuli anak dan istrinya. Dengan mengintimidasi keluarganya serta memberi hukuman fisik pada mereka, penganiaya sering merasa memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap anggota keluarga, suatu perasaan yang menghindarkannya dalam kehidupan di luar keluarga. Oleh karena itu, perilaku kekerasan sering membuatnya puas dan meningkatkan harga dirinya. Sifat paling sering ditemukan pada istri yang teraniaya dan tinggal bersama suami mereka ialah ketergantungan. Ketergantungan personal dan finansial sering disebut sebagai alasan wanita sangat sulit meninggalkan hubungan yang abusive. Tanpa memerhatikan kemampuan atau talenta dirinya, korban menganggap dirinya tidak mampu melakukan sesuatu tanpa suaminya. Sering kali ia menderita karena harga diri rendah dan mendefinisikan keberhasilannya sebagai individu berdasarkan kemampuan untuk tetap setia pada pernikahannya dan “membuat pernikahannya langgeng.” Beberapa wanita menginternalisasi kritik yang mereka terima dan memiliki keyakinan yang keliru bahwa mereka yang salah. Para wanita juga takut penganiaya akan membunuh mereka jika mereka mencoba meninggalkanmu. Rasa takut ini tampaknya merupakan hal yang realistis bila dilihat dari statistik nasional yang menunjukkan bahwa wanita yang dibunuh oleh pasangan atau kekasih mereka sering berusaha meninggalkan atau sudah meninggalkan pasangan mereka (Hattendorf & Tollerud, 1997). Siklus Penganiayaan dan Kekerasan Alasan lain yang sering diajukan mengapa wanita sulit meninggalkan hubungan yang abusive ialah siklus kekerasan atau penganiayaan. Ada pola yang khas bagaimana penganiayaan terjadi. Episode awal pemukulan atau perilaku kekerasan biasanya diikuti oleh periode ketika penganiayaan mengungkapkan peneyesalan dan meminta maaf, dengan berjanji bahwa hal tersebut tidak akan terulang. Ia menyatakan cinta kepada istrinya, bahkan dapat menunjukkan perilaku romantis, dengan membelikan hadiah dan bunga. Periode penyesalan ini kadang-kadang disebut periode bulan madu. Wanita biasanya ingin memercayai suaminya dan berharap bahwa kekerasan yang dialaminya adalah suatu insiden tersendiri. Setelah periode bulan madu ini, terjadi fase munculnya ketegangan yang diwarnai oleh pertengkaran, saling diam, atau suami lebih banyak mengeluh. Ketegangan tersebut berakhir dengan episode kekerasan lain, selain itu suami penganiaya merasa menyesal dan berjanji untuk berubah. Siklus ini terjadi berulang-ulang. Setiap waktu korban terus berharap bahwa kali ini kekerasan akan berakhir. Pada awalnya periode bulan madu dapat berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, yang membuat wanita yakin bahwa hubungan telah membaik dan perilaku suaminya telah berubah. Pada waktu selanjutnya, episode kekerasan terjadi lebih sering, periode penyesalan tidak ada sama sekali, dan tingkat kekerasan serta keparahan cedera semakin berat. Pada akhirnya, perilaku kekerasan rutin terjadi, beberapa kali seminggu atau bahkan tiap hari. A. Pengkajian 1) Kecemasan a) Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal. b) Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang terintegrasi seseorang. c) Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri secara fisik maupun psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas. 2) Gangguan tidur 3) Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi pelayanan juga merupakan sumber yang penting. 4) Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah psikologis. 5) Gangguan Seksual B. Terapi dan Intervensi Karena kebanyakan wanita yang teraniaya tidak mencari banyak bantuan langsung untuk penganiayaan, perawat harus mampu membantu mengidentifikasi wanita yang teraniaya di berbagai lingkungan. Perawat dapat bertemu wanita yang teraniaya di ruang kedaruratan, klinik, atau di tempat praktik kedokteran anak. Beberapa diantaranya mungkin ditemui ketika mencari terapi untuk kondisi medis lain yang tidak langsung berhubungan dengan penganiayaan, atau ketika mereka hamil. Mengidentifikasi wanita yang teraniaya dan memerlukan bantuan adalah prioritas utama Departement of Health and Human Service. Perawat umum tidak diharapkan untuk menangani masalah yang rumit ini sendirian. Akan tetapi, perawat dapat melakukan rujukan dan menghubungi profesional perawatan kesehatan yang tepat dan berpengalaman dalam menangani wanita yang teraniaya. Perawat terutama dapat memberikan perawatan dan dukungan kepada klien selama interaksi. Banyak rumah sakit, klinik, dan tempat praktik dokter menanyakan tentang masalah keamanan kepada semua wanita sebagai bagian pengkajian riwayat kesehatan atau wawancara masukan. Karena hal ini merupakan isu yang sensitif dan riskan, dan banyak wanita yang teraniaya merasa takut atau malu untuk mengakui bahwa mereka dianiaya, perawat harus terlatih dalam mengajukan pertanyaan yang tepat tentang penganiayaan. Tempat penampungan wanita korban pemukulan dapat menyediakan tempat tinggal yang teraniaya dan anak-anaknya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan hubungan yang abusive. Akan tetapi, di banyak kota, tempat penampungan sudah penuh, beberapa memiliki daftar tunggu, dan bantuan yang diberikan bersifat sementara. Wanita yang meninggalkan hubungan yang abusive mungkin tidak memiliki penghasilan dan keterampilan atau pengalamannya dalam bekerja terbatas, dan ia sering kali mempunyai anak-anak yang menjadi tanggungannya. Hal ini merupakan hambatan yang sulit diatasi dan bantuan masyarakat atau bantuan swasta terbatas. Selain banyak cedera fisik yang dapat dialami wanita yang teraniaya, ada juga konsekuensi psikologis dan emosional. Psikoterapi atau konseling individu, terapi kelompok, atau kelompok pendukung dan self-help group dapat membantu wanita yang teraniaya mengatasi trauma yang mereka alami dan mulai membina hubungan yang baru dan lebih sehat. Pemukulan juga dapat mengakibatkan gangguan stres pascatrauma. Hal yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam menangani korban penganiayaan pasangan Hal yang tidak dapat dilakukan Hal yang dapat dilakukan 1. Jangan membocorkan komunikasi klien tanpa persetujuan klien. 2. Jangan menggurui, mengatakan hal-hal tentang moral, atau memberi kesan bahwa anda meragukan klien. 3. Jangan meremehkan dampak kekerasan. 4. Jangan mengungkapkan kemarahan pada pelaku penganiayaan. 5. Jangan memberi kesaan klien bertanggung jawab atas penganiayaan yang dialaminya. 6. Jangan merekomendasikan konseling pasangan. 7. Jangan mengarahkan klien untuk meninggalkan hubungan. 8. Jangan membebani klien dan lakukan semua untuk klien. 1. Pastikan dan jaga kerahasiaan klien. 2. Dengarkan, pastikan, dan katakan, “saya turut menyesal bahwa Anda telah disakiti.” 3. Ungkapkan : “saya peduli akan keselamatan Anda.” 4. Katakan pada korban : “ Anda memiliki hak untuk merasa aman dan dihormati.” 5. Katakan : “penganiayaan yang Anda alami bukan salah Anda.” 6. Rekomendasikan suatu kelompok pendukung atau konseling individu. 7. Identifikasi sumber di masyarakat dan dorong klien untuk mengembangkan rencana keamanan. 8. Tawarkan bantuan kepada klien dalam menghubungi tempat penampungan, polisi, atau sumber lain. Pertanyaan SAFE 1. Stress/Safety (stres/keamanan): stress seperti apa yang Anda alami dalam hubungan Anda? Apakah Anda merasa aman dalam hubungan Anda? Perlukah saya mengkhawatirkan keselamatan Anda? 2. Afraid/Abused (takut/dianiaya) : apakah ada situasi dalam hubungan Anda yang membuat Anda merasa takut? Apakah pasangan Anda pernah mengancam atau menganiaya Anda atau anak-anak Anda? Apakah Anda secara fisik pernah disakiti atau diancam oleh pasangan Anda? Anda berada dalam hubungan seperti itu saat ini? Apakah pasangan Anda pernah memaksa Anda untuk melakukan hubungan seksual ketika Anda tidak menginginkannya? Orang-orang dalam hubungan/pernikahan sering kali bertengkar, apa yang terjadi ketika Anda dan pasangan Anda berbeda pendapat? 3. Friends/Family (teman/keluarga) : apakah teman Anda menyadari bahwa Anda disakiti? Apakah orang tua atau saudara kandung Anda tahu tentang penganiayaan ini? Menurut Anda apakah Anda dapat menyampaikannya kepada mereka dan dapatkah mereka memberi Anda dukungan? 4. Emergency plan (rencana kedaruratan): apakah Anda memiliki tempat yang aman untuk pergi dan dukungan yang Anda (dan anak-anak) butuhkan dalam keadaan darurat? Jika Anda berada dalam bahaya saat ini, apakah Anda memerlukan bantuan dalam mencari tempat tinggal? Apakah Anda ingin berbicara dengan pekerja sosial/konselor/saya untuk mengembangkan rencana kedaruratan? 3. Penganiayaan Anak Penganiayaan anak atau perlakuan semena-mena terhadap anak umumnya didefinisikan sebagai cedera yang sengaja dilakukan terhadap seorang anak dan dapat mencakup penganiayaan atau cedera fisik, pengabaian atau kegagalan mencegah bahaya, kegagalan memberi perawatan atau pengawasan emosional atau fisik yang adekuat, penelantaran, penyerangan atau intrusi seksual, dan menyiksa secara terbuka atau mencederai (Bierne, 2000). Tipe penganiayaan Anak Penganiayaan fisik pada anak sering kali terjadi akibat hukuman fisik yang berat dan tidak masuk akal, atau hukuman yang tidak dapat dibenarkan, misalnya memukul bayi yang menangis atau mengotori popoknya. Tindak kekerasan yang sengaja dilakukan pada anak antara lain membakar, menggigit, memotong, meninju, memelintir ekstremitas, atau menyiram dengan air panas. Korban sering kali memiliki tanda bekas cedera, seperti jaringan parut, fraktur yang tidak diobati, atau banyak memar pada berbagai tingkat usia, tidak dapat dijelaskan secara adekuat oleh riwayat yang disampaikan orang tua atau pengasuh (Lego, 1996). Penganiayaan seksual meliputi tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Tindakan ini dapat mencakup inses, pemerkosaan, dan sodomi, yang dilakukan oleh seseorang atau dengan suatu benda, kontak oral-genitalia, dan tindakan cabul seperti menggesek, meraba, atau memperlihatkan kelamin orang dewasa. Penganiayaan seksual dapat berupa insiden tunggal atau episode multipel selama periode waktu yang lama. Tipe kedua penganiayaan seksual meliputi eksploitasi, misalnya membuat, mengumumkan, atau menjual pornografi yang melibatkan anak kecil dan memaksa anak kecil melakukan tindakan cabul. Pengabaian adalah tindakan menyakiti atau mengabaikan kebutuhan fisik, emosional, atau pendidikan untuk kesejahteraannya. Penganiayaan anak melalui pengabaian adalah tipe penganiayaan yang paling sering terjadi dan mencakup penolakan untuk mencari perawatan kesehatan atau menunda melakukan hal tersebut; penelantaran; pengawasan yang tidak adekuat; ceroboh dan tidak peduli terhadap keamanan anak; tindakan menghukum, eksploitasi, atau perlakuan emosional yang abusiver; penganiayaan pasangan di depan anak; memberi izin membolos kepada anak; atau tidak mendaftarkan anak masuk sekolah. Penganiayaan psikologis (penganiayaan emosional) meliputi serangan verbal seperti menyalahkan, meneriaki, mengejek, dan sarkasme; ketidakharmonisan keluarga yang terus-menerus, yang ditandai oleh pertengkaran, saling meneriaki, dan kekacauan; serta deprivasi emosional atau tidak memberi kasih sayang asuhan dan pengalaman normal yang meningkatkan perasaan menerima, cinta, keamanan, serta harga diri. Penganiayaan emosional sering terjadi bersama tipe penganiayaan yang lain, seperti penganiayaan fisik atau penganiayaan seksual. Sering melihat orang tua mengonsumsi alkohol, menggunakan obat-obatan, atau terlibat dalam prostitusi, dan pengabaian yang diakibatkannya, juga dapat dimasukkan dalam kategori ini. Gambaran Klinis Orang tua yang menganiaya anak mereka sering kali sedikit memiliki pengetahuan dan keterampilan menjadi orang tua. Mereka mungkin tidak memahami atau mengetahui kebutuhan anak mereka atau mereka mungkin marah atau frustasi karena mereka secara emosional atau secara finansial tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Walaupun kurangnya pendidikan dan kemiskinan merupakan berberapa faktor yang menimbulkan penganiayaan dan pengabaian anak, faktor tersebut tidak menjelaskan fenomena penganiayaan anak secara keseluruhan. Ada banyak insiden penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga yang tampak memiliki segalanya---orang tua berpendidikan, memiliki karir yang sukses, dan kondisi keuangan keluarga yang stabil. Orang tua yang menganiaya anak mereka sering kali belum dewasa secara emosional dan sangat miskink tidak mampu memenuhi kebutuhan anak. Seperti dalam penganiayaan pasangan, anak yang dianiaya sering dianggap sebagai hak milik orang tua yang menganiaya. Anak-anak tidak dihargai sebagai orang yang memiliki hak dan perasaan. Pada beberapa kasus, orang tua merasakan kebutuhan untuk memiliki anak dengan tujuan mengganti masa kanak-kanaknya yang tidak bahagia dan mengecewakan. Orang tua ingin merasakan cinta antara anak dan orang tua yang tidak dimilikinya ketika ia kanak-kanak. Harapan yang tidak realistis untuk memiliki anak yang sangat besar dalam aspek emosional, fisik, dan finansial. Ketika harapan orang tua yang tidak realistis ini tidak dipenuhi, orang tua sering kembali menggunakan metode yang juga digunakan orang tuanya. Kecenderungan orang dewasa membesarkan anak mereka dengan cara yang sama seperti membesarkan mereka, membentuk siklus kekerasan dalam keluarga. Orang dewasa yang menjadi korban penganiayaan pada masa kanak-kanak sering menjadi penganiaya anak mereka sendiri (Biernet, 2000). A. Pengkajian Seperti pada semua tipe kekerasan dalam keluarga,deteksi dan identifikasi yang akurat adalah langkah pertama yang dilakukan. Dari seluruh kasus penganiayaan anak, 10% adalah kasus luka bakar atau cedera akibat siraman air panas. Luka bakar dapat memiliki bentuk yang dapat diidentifikasi, misalnya luka bakar akibat sundutan rokok, atau mungkin memiliki tanda “belang,” yang menunjukkan cedera akibat siraman air panas orang tua dari bayi yang mengalami fraktur tengkorak yang berat mungkin melaporkan bahwa bayi “jatuh dari sofa,” walaupun anak tersebut terlalu kecil untuk bisa mengalami hal itu atau cedera terlalu berat jika dikarenakan jatuh dari ketinggian 20 inci (Ladebauche, 1997). Anak-anak yang pernah mengalami penganiayaan seksual dapat terjangkit infeksi saluran kemih; genital memar, merah, atau bengkak; rektum atau vagina robek dan memar. Respons emosional anak-anak yang mengalami penganiayaan sangat bervariasi. Anak-anak ini sering kali berbicara atau berperilaku yang menunjukkan seolah mereka memiliki pengetahuan yang lebih tentang isu seksual daripada anak-anak seusia mereka. Pada waktu selanjutnya, korban merasa takut dan cemas serta mungkin dekat dengan orang dewasa atau sama sekali menolak perhatian orang dewasa. Kuncinya ialah mengenali ketika perilaku anak berada di luar keadaan normal yang diharapkan untuk usia dan tahap perkembangan anak tersebut. Perilaku yang tampaknya tidak dapat dijelaskan, dari menolak makan sampai perilaku agresif terhadap teman sebaya, dapat mengindikasikan penganiayaan. Perawat tidak harus menetapkan dengan pasti bahwa penganiayaan telah terjadi. Perawat bertanggung jawab melaporkan kecurigaan penganiayaan anak dengan akurat dan dokumentasi data pengkajian yang teliti. Lima puluh negara memiliki undang-undang yang mewajibkan perawat untuk melaporkan kecurigaan adanya penganiayaan. Undang-undang ini sering disebuat undang-undang wajib lapor. Perawat baik sendiri atau bekerja sama dengan anggota tim kesehatan yang lain, seperti dokter atau pekerja sosial, dapat melaporkan kecurigaan penganiayaan kepada pihak yang berwenang dalam pemerintah setempat yang tepat. Di beberapa negara bagian, pihak yang berwenang antara lain Child Protective Services, Children and Family Services, atau Department of Health. Nomor yang dapat dihubungi dapat ditemukan dalam buku telepon lokal. Nama pelapor dapat tetap dirahasiakan jika diinginkan. Individu yang bekerja di institusi tersebut memiliki pendidikan khusus dalam penyelidikan kasus penganiayaan. Pertanyaan harus diajukan dengan cara yang tidak membuat anak semakin trauma atau menghambat tindakan hukum yang dapat terjadi. Perawat umum tidak perlu melanjutkan penyelidikan pada anak. Tindakan tersebut dapat lebih merugikan daripada menguntungkan. B. Diagnosa Keperawatan 1. Tidak efektifnya koping keluarga; kompromi berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan Child Abuse 2. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan anak berhubungan dengan tidak adekuatnya perawatan 3. Resiko perilaku kekerasan oleh anggota keluarga yang lain berhubungan dengan kelakuan yang maladaptive. 4. Peran orang tua berubah berhubungan dengan ikatan keluarga yang terganggu. C. Terapi dan Intervensi Bagian pertama terapi pada penganiayaan atau pengabaian anak ialah memastikan keamanan dan kesejahteraan anak (Biernet, 2000). Hal ini dapat mencakup pemindahan anak dari rumah, yang juga dapat menjadi tindakan traumatik. Evaluasi psikiatri yang seksama juga diindikasikan dengan mempertimbangkan risiko tinggi masalah psikologis. Mengembangkan hubungan saling percaya dengan ahli terapi sangat penting untuk membantu anak menghadapi trauma penganiayaan. Terapi dapat diindikasikan selama periode waktu yang signifikan, bergantung pada keparahan dan durasi penganiayaan serta respon anak. Terapi jangka panjang untuk anak biasanya melibatkan profesional dari berbagai disiplin, seperti psikiatri, kerja sosial, psikologi, dan ahli terapi lain. Anak yang masih sangat kecil paling baik berkomunikasi melalui terapi bermain, ketiak ia menggambar atau bermain boneka, bukan dengan membicarakan apa yg telah terjadi atau membicarakan perasaannya. Institusi pelayanan sosial terlihat dalam menentukan apakah mungkin mengembalikan anak ke rumah orang tuanya jika orang tua dapat menunjukkan manfaat terapi. Terapi keluarga dapat diindikasikan jika terapi tersebut memungkinkan untuk menyatukan keluarga kembali. Orang tua mungkin memerlukan terapi psikiatri atau terapi penyalahgunaan zat. Apabila anak tidak mungkin kembali ke rumah, pelayanan foster care dapat diindikasikan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. D. Evaluasi Keperawatan 1) Mekanisme koping keluarga menjadi efektif 2) Perkembangan kognitif anak, psikomotor dan psikososial dapat disesuaikan dengan tingkatan umurnya 3) Perilaku kekerasan pada keluarga dapat berkurang 4) Perilaku orang tua yang kasar dapat menjadi lebih efektif 4. Penganiayaan Lansia Penganiayaan lansia adalah perlakuan semena-mena terhadap lansia oleh anggota keluarga atau orang-orang yang merawat mereka. Penganiayaan tersebut mencakup penganiayaan fisik dan seksual, penganiayaan psikologis, pengabaian, pengabaian diri, eksploitasi finansial, menolak terapi medis yang adekuat. Diperkirakan bahwa setengah juta lansia dianiaya atau diabaikan dalam rumah tangga dan perbandingan antara insiden penganiayaan atau pengabaian yang tidak dilaporkan dan yang dilaporkan adalah lima banding satu. Pelaku hampir 60% adalah pasangan, 20% anak yang sudah dewasa, dan 20% orang lain, seperti saudara kandung, cucu, dan orang yang indekos (Lego, 1996). Kebanyakan korban penganiayaan lansia berusia 75 tahun atau lebih, atau 60% sampai 65% adalah wanita. Penganiayaan lebih cenderung terjadi ketika lansia mengalami banyak masalah kesehatan fisik dan gangguan jiwa yang kronis, dan saat lansia bergantung pada orang lain dalam memperoleh makanan, perawatan medis, dan melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Individu yang menganiaya lansia hampir selalu merupakan orang yang merawat lansia tersebut, atau lansia bergantung pada mereka dalam beberapa hal. Kebanyakan kasus penganiayaan lansia terjadi ketika salah satu lansia merawat pasangannya. Tipe penganiayaan pasangan ini biasanya terjadi selama bertahun-tahun setelah disabilitas membuat pasangan yang dianiaya tidak mampu merawat dirinya sendiri. Apabila penganiaya adalah anak yang sudah dewasa, anak lelaki memiliki kemungkinan dua kali lebih besar sebagai pelaku daripada anak perempuan. Penganiayaan lansia juga dapat diperburuk oleh gangguan jiwa atau penyalahgunaan zat yang dialami orang yang merawat lansia (Goldstein, 2000). Lansia sering kali enggan melaporkan penganiayaan yang dialaminya walaupun mereka dapat melakukannya karena biasanya hal itu melibatkan anggota keluarga yang ingin dilindunginya. Korban juga sering takut kehilangan dukungan mereka dan dipindahkan ke suatu institusi. Tidak ada perkiraan secara rasional jumlah kasus penganiayaan lansia yang tinggal di institusi secara nasional. Di bawah mandat pemerintah federal tahun 1978, petugas penyelidik diizinkan mengunjungi nursing home untuk memeriksa praktik perawatan lansia. Petugas penyelidik tersebut tetap melaporkan bahwa penganiayaan lansia bisa dilakukan di institusi (Goldstein, 2000). Gambaran klinis Korban dapat mengalami memar atau fraktur, tidak memiliki kacamata atau alat bantu dengar yang mereka butuhkan, tidak mendapatkan makanan, cairan, atau obat-obatan, atau mungkin direstrein di kursi atau tempat tidur. Penganiayaan dapat menggunakan sumber finansial korban untuk kesenangannya sendiri, sementara lansia tidak dapat membeli makanan atau obat-obatan. Perawatan medis itu sendiri tidak diberikan kepada lansia yang menderita penyakit akut atau kronis. Pengabaian diri ialah kegagalan lansia untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. A. Pengkajian Pengkajian yang cermat tentang lansia dan hubungan dengan orang yang merawat lansia sangat penting dalam mendeteksi penganiayaan lansia. Sering kali sulit menentukan apakah kondisi lansia disebabkan oleh deteriorasi yang terkait dengan penyakit kronis atau akibat penganiayaan. Ada beberapa indikator potensial tindakan penganiayaan yang memerlukan pengkajian lebih lanjut dan evaluasi memerlukan pengkajian lebih lanjut dan evaluasi yang cermat. Penganiayaan harus dicurigai jika ada cedera yang disembunyikan atau tidak diobati, atau cedera yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diberikan. Cedera tersebut dapat mencakup luka terpotong, laserasi, luka tusuk, memar atau bilur, atau luka bakar. Luka bakar dapat berupa luka akibat sundutan rokok, luka akibat siraman asam atau bahan kaustik, atau luka akibat friksi pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki karena direstrein dengan tali, kain, atau rantai. Tanda-tanda pengabaian fisik berupa bau pesing atau bau tinja yang menyebar, terlihat kotor, terdapat ruam, luka, kutu, atau pakaian yang tidak adekuat. Dehidrasi atau kurang gizi yang bukan karena penyakit tertentu juga merupakan indikator kuat adanya penganiayaan. Indikator penganiayaan emosional atau psikologis yang mungkin antara lain lansial yang ragu-ragu berbicara terbuka kepada perawat atau terlihat takut, menarik diri, depresi, dan tidak berdaya. Lansia juga dapat memperlihatkan kemarahan atau agitasi karena alasan yang tidak jelas. Ia mungkin menyangkal adanya masalah walaupun fakta menunjukkan sebaliknya. Indikator pengabaian diri yang mungkin berupa ketidakmampuan mengatur keuangan (mengumpulkan uang atau menghamburkan uang padahal tidak dapat membayar tagihan), ketidakmampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (perawatan diri, berbelanja, menyiapkan makanan, dan kebersihan), dan perubahan fungsi intelektual (bingung, disorientasi, respons yang tidak tepat, kehilangan memori, dan isolasi). Indikator pengabaian diri yang lain meliputi tanda-tanda malnutrisi atau dehidrasi, ruam atau luka-luka pada tubuh, bau pesing atau bau tinja, atau tidak melakukan pemeriksaan medis yang diperlukan. Untuk mendiagnosis pengabaian diri, hasil evaluasi harus menunjukkan bahwa lansia tidak mampu mengatur kehidupan sehari-hari dan merawat dirinya sendiri. Pengabaian diri tidak dapat ditetapkan hanya berdasarkan keyakinan anggota keluarga bahwa lansia tidak dapat mengatur keuangannya. Misalnya, seorang lansia tidak dapat dianggap mengabaikan diri sendiri hanya karena ia menyerahkan sejumlah besar uang kepada suatu kelompok, menymbang, atau menginvestasikan uangnya di beberapa bisnis berisiko yang tidak disetujui anggota keluarga. Tanda-tanda peringatan eksploitasi atau penganiayaan finansial antara lain banyak tagihan yang belum dilunasi (padahal klien memiliki cukup uang untuk membayarnya), transaksi perbankan yang tidak lazim cek yang ditandatangani oleh seseorang selain lansia, atau perubahan terbaru surat warisan atau pemberian kausa kepada pengacara saat lansia tidak mampu membuat keputusan tersebut. Lansia mungkin tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dapat ia peroleh, seperti pakaian, barang pribadi, atau televisi. Lansia mungkin melaporkan kehilangan barang-barang yang berharga dan melaporkan bahwa ia tidak berhubungan lagi dengan teman atau kerabatnya. Perawat juga dapat mendeteksi kemungkinan indikator penganiayaan dari orang yang merawat lansia. Orang tersebut mungkin mengeluh sulitnya merawat lansia atau mengeluh tentang inkontinensia, kesulitan dalam memberi makan, atau biaya pengobatan yang berlebihan. Orang ini mungkin memperlihatkan kemarahan atau tidak peduli terhadap lansia dan mencoba mencegah perawat berbicara berdua dengan lansia penganiayaan lansia lebih cenderung terjadi ketika orang yang merawat lansia memiliki riwayat kekerasan dalam keluarga atau masalah penyalahgunaan obat atau alkohol. Beberapa negara bagian memiliki undang-undang wajib lapor untuk penganiayaan lansia dan negara lain hanya memiliki undang-undang pelaporan sukarela. Perawat harus mengetahui undang-undang atau hukum tentang pelaporan kasus penganiayaan di negara bagian mereka sendiri. Banyak kasus masih belum dilaporkan. Institusi setempat yang menangani lansia dapat menyediakan prosedur untuk pelaporan kasus penganiayaan sesuai dengan undang-undang negeri bagian. Untuk menemukan institusi setempat, hubungi pusat informasi nasional 1-800-677-1116. B. Terapi dan Intervensi Penganiayaan lansia dapat terjadi secara bertahap ketika beban pemberian perawatan melebihi sumber fisik atau emosional orang yang merawat. Dengan mengurangi stres orang yang merawat dan menyediakan sumber tambahan, dapat membantu memperbaiki situasi yang abusive sehingga hubungan pemberian perawatan tetap utuh. Pada kasus lain, pengabaian atau penganiayaan dilakukan dengan sengaja dan dirancang untuk memberikan manfaat personal untuk orang yang merawat, misalnya akses ke sumber finansial korban. Pada situasi seperti ini, lansia perlu dipindahkan atau orang yang merawat lansia dipindahkan. Indikator Penganiayaan Lansia Yang Mungkin Indikator penganiayaan fisik a. Adanya cedera yang tidak dapat dijelaskan dan sering disertai kebiasaan mencari bantuan medis dari berbagai tempat b. Enggan mencari terapi medis untuk cedera atau menyangkal adanya cedera c. Disorientasi atau grogi, yang menunjukkan penyalahgunaan obat-obatan d. Takut atau gugup ketika ada anggota keluarga yang merawat Indikator penganiayaan psikologis atau emosional a. Tidak berdaya b. Ragu-ragu untuk berbicara terbuka c. Marah atau agitasi d. Menarik diri atau depresi Indikator penganiayaan finansial a. Transaksi perbankan yang tidak lazim atau tidak tepat b. Tanda tangan pada cek yang berbeda dari tanda tangan lansia c. Perubahan terbaru surat warisan atau pemberian kuasa pada pengacara ketika lansia tidak mampu membuat keputusan tersebut d. Kehilangan barang berharga yang bukan hanya karena salah meletakkan e. Tidak memiliki televisi, pakaian, atau barang pribadi yang dapat diperoleh dengan mudah f. Kekhawatiran orang yang merawat lansia yang tidak lazim tentang biaya pengobatan biaya pengobatan lansia padahal bukan uang orang yang merawat tersebut yang digunakan Indikator Pengabaian a. Terlihat kotor, bau pesing atau bau tinja, atau hal lain yang membahayakan kesehatan di lingkungan hidup lansia b. Ada ruam, luka, atau kutu pada lansia c. Lansia mengalami kondisi medis yang tidak diobati, kurang gizi, atau dehidrasi yang tidak berhubungan dengan suatu penyakit yang diketahui d. Pakaian tidak adekuat Indikator pengabaian diri a. Ketidakmampuan mengatur keuangan pribadi, misalnya mengumpulkan uang, menghamburkan uang, atau menyumbangkan uang padahal tidak dapat membayar tagihan b. Ketidakmampuan mengatur aktivitas hidup sehari-hari, misalnya perawatan diri, berbelanja, pekerjaan rumah tangga c. Keluyuran, menolak penanganan medis yang dibutuhkan isolasi, penggunaan zat d. Tidak melakukan pemeriksaan medis yang diperlukan e. Bingung, kehilangan memori, tidak responsif f. Tidak memiliki fasilitas toilet, tinggal di tempat yang terdapat banyak hewan penyebar penyakit Indikator peringatan dari orang yang merawat a. Lansia tidak diberi kesempatan untuk berbicara, menerima kunjungan, atau bertemu seseorang tanpa kehadiran orang merawat b. Sikap tidak peduli atau marah terhadap lansia c. Menyalahkan lansia karena keterbatasan atau penyakitnya d. Sikap defensif e. Selalu bertentangan ketika membicarakan kemampuan, masalah, dan hal lain tentang lansia f. Riwayat sebelumnya tentang penganiayaan atau masalah penyalahgunaan alkohol atau obat Tanda-Tanda Peringatan pada Anak Yang Mengalami Penganiayaan/Pengabaian 1. Cedera serius seperti fraktur, luka bakar, dan laserasi tanpa ada laporan riwayat trauma 2. Menunda mencari terapi untuk cedera yang berat 3. Anak atau orang tua menjelaskan riwayat cedera yang tidak sesuai dengan tingkat keparahan cedera, misalnya bayi yang mengalami cedera contre-coup pada otaknya (shaken baby syndrome), yang dinyatakan orang tua terjadi karena bayi jatuh dari sofa 4. Riwayat anak yang dijelaskan selama evaluasi tidak konsisten atau berubah-ubah baik oleh anak itu sendiri ataupun orang tuanya 5. Cedera yang tidak lazim untuk usia dan tingkat perkembangan anak, misalnya fraktur femur pada anak usia dua bulan atau dislokasi bahu pada anak usia dua tahun 6. Insiden infeksi saluran kemih tinggi, genital memar, merah, atau bengkak, rektum atau vagina robek atau memar 7. Terdapat bekas luka yang tidak dilaporkan, misalnya jaringan parut, fraktur yang tidak diobati, banyak memar yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat oleh orang tua/pengasuh

Jumat, 08 April 2011

Denver Development Screening Test (DDST)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari beberapa pelitian yang pernah dilakukan ternyata DDST secara efektif dapat mengidentifikasikan 85-100% bayi dan anak prasekolah yang mengalami keterlambatan perkembangan, dan pada follow up selanjutnya ternyata 89% dari kelompok DDST abnormal mengalami kegagalan disekolah 5-6 tahun kemudian.

B. Tujuan Penulisan
1) Mengetahui Definisi DDST
2) Mengetahui Manfaat DDST
3) Mengetahui Perkembangan DDST
4) Mengetahui Cara Pemeriksaan DDST

C. Manfaat Penulisan
1) Memahami Definisi DDST
2) Memahami Manfaat DDST
3) Memahami Perkembangan DDST
4) Memahami Cara Pemeriksaan DDST

D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu:
1) Kata Pengantar
2) Daftar Isi
3) BAB I Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Manfaat, dan Sistematika Penulisan
4) BAB II Tinjauan Teoritis yang berisi mengenai Konsep Dasar Denver Development Screening Test
5) BAB III Kesimpulan
6) Daftar Pustaka.

BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
DDST (Denver Devplopmant Screening Test) adalah salah satu dari metode screening terhadap kelainan perkembangan anak, test ini bukanlah test diagnosa atau test IQ. DDST memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode screening yang Baik. Test ini dikembangkan pada 6 tahun pertama kehidupan anak, dengan penekanan pada 2 tahun pertama mudah dan cepat (15-20menit), dapat diandalkan dan menunjukkan validitas yang baik.
“Denver scale” adalah test screening untuk masalah kognitif dan perilaku pada anak pra sekolah. Test ini dikembangkan wlliam K. Frankenburg (yang mengenalkan pertama kali) dan J.B.Doods pada tahun 1967. DDST dipublikasikan oleh Denver Developmental Material, Inc., di Denver, Colorado. DDST merefleksikan persentase kelompok anak usia tertentu yang dapat menampilkan tugas perkembangan tertentu. Test ini dapat dilakukan oleh dokter spesialis, tenaga profesional kesehatan lainnya, atau tenaga professional kesehatan dalam layanan social. Dalam perkembangan lainnya DDST mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah Denver II yang merupakan hasil revisi dan standarisasi dari DDST dan DDST-R (revised denver developmental screening test). Perbedaaan denver II dengan screening terdahulu terletak pada item-item test, bentuk, interprestasi dan rujukan.
Pembahasan mengenai DDST dalam sejarahnya tidak terlepas dari denver developmental material. Denver developmental material bermanfaat bagi petugas kesehatan yang memberi perawatan langsung pada anak. Dengan prosedur yang sederhana dan cepat, metoda ini dapat digunakan oleh tenaga professional maupun paraprofessional. Prosedur tersebut dirancang untuk perkembangan anak yang optimal sejak lahir hingga usia 6 tahun melalui panduan dan identifikasi yang memerlukan evaluasi tambahan. Materi pokok, yakni PDQ II, apparent answered questionnaire, dan the denver II, merupakan program surveilans perkembangan yang tepat untuk situasi ketika waktu yang tersedia sempit.


B. MANFAAT
Penyimpangan perkembangan pada bayi dan anak usia dini sering kali sulit dideteksi dengan pemeriksaan fisik rutin. DDST dikembangkan untuk membantu petugas kesehatan dalam mendeteksi perkembangan anak usia dini.
Menurut study yang dilakukan oleh The public health agency of Canada, DDST adalah metode test yang paling banyak digunakan untuk masalah perkembangan anak.
Denver II dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain :
1. Menilai tingkat perkembangan anak sesuai dengan usianya
2. Menilai tingkat perkembangan anak yang tampak sehat
3. Menilai tingkat perkembangan anak yang tidak menunjukan gejala kemungkinan adanya kelainan perkembangan
4. Memastikan anak yang diduga mengalami kelainan perkembangan
5. Memantau anak yang beresiko mengalami kelainan perkembangan

C. Perkembangan Menurut DDST II
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 1997).
Denver II adalah revisi utama dari standardisasi ulang dari Denver Development Screening Test (DDST) dan Revisied Denver Developmental Screening Test (DDST-R). Adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak. Tes ini bukan tes diagnostik atau tes IQ. Waktu yang dibutuhkan 15-20 menit.
1. Aspek Perkembangan yang dinilai
• Terdiri dari 125 tugas perkembangan.
• Tugas yang diperiksa setiap kali skrining hanya berkisar 25-30 tugas
• Ada 4 sektor perkembangan yang dinilai :
a. Personal Social (perilaku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Fine Motor Adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat.
Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan
c. Gross motor (gerakan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
2. Cara menghitung usia anak
Telah disebutkan di awal bahwa penerapan DDST ditunjukan untuk menilai perkembangan anak berdasarkan usianya. Dengan demikian, sebelum melakukan test ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui usia anak tersebut. Untuk menghitung usia anak, kita dapat mengikuti langkah-langkah berikut
a. Tulis tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakan test
b. Kurangi dengan cara bersusun tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak
c. Jika jumlah hari yang dikurangi lebih besar, ambil jumlah hari yang sesuai dari angka bulan didepannya
d. Hasilnya adalah usia anak dalam tahun,bulan, dan hari
e. Ubah usia anak ke dalam satuan bulan jika perlu
f. Jika pada saat pemeriksaan usia anak dibawah 2 tahun, anak lahir kurang dari 2 minggu atau lebih dari HPL, lakukan penyesuaian prematuritas dengan cara mengurangi umur anak dengan jumlah minggu tersebut
Contoh :
Rumus menghitung umur anak (pelaksanaan tugas)
Rumus : umur = tanggal pada waktu test dikurangi tanggal lahir

Tanggal test : 1990 3 13
Tanggal lahir : 1989 1 5
Umur : 1 2 8
3. Alat yang digunakan
a. Alat peraga :
benang wol merah, kismis/ manik-manik, Peralatan makan, peralatan gosok gigi, kartu/ permainan ular tangga, pakaian, buku gambar/ kertas, pensil, kubus warna merah-kuning-hijau-biru, kertas warna (tergantung usia kronologis anak saat diperiksa).
b. Lembar formulir DDST II
Buku petunjuk sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara melakukan tes dan cara penilaiannya.
4. Prosedur DDST terdiri dari 2 tahap, yaitu:
a) Tahap pertama: secara periodik dilakukan pada semua anak yang berusia :
• 3-6 bulan
• 9-12 bulan
• 18-24 bulan
• 3 tahun
• 4 tahun
• 5 tahun
b) Tahap kedua: dilakukan pada mereka yang dicurigai adanya hambatan perkembangan pada tahap pertama. Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi diagnostik yang lengkap.
5. Pelaksanaan test
Penting untuk anak :
• Dibutuhkan kerjasama yang aktif dan anak sehingga anak harus merasa aman dan senang
• Anak tidak sedang sakit
• Anak tidak ngantuk, lapar,huas, sedang marah, rewel
• Ruangan cukup luas, cukup ventilasi dan kesan menyenangkan bagi anak
• Ajak anak bermain
Penting untuk orang tua
• Diberitahu bahwa ini bukan test IQ
• Beritahu tujuan test
• Beritahu ortu bahwa pemeriksaan tidak mengharapkan anak dapat melakukan semua tugas yang diberikan kepada anak
Penting untuk pelaksana test
a. Item-item test sebaiknya disajikan secara fleksibel. Akan tetapi lebih dianjurkan mengukuti petunjuk berikut :
• Item yang kurang memerlukan keaktifan anak sebaiknya didahulukan, misalnya sektor personal-sosial, baru kemudian dilanjutkan dengan sector motorik halus-adaptif
• Item yang lebih mudah didahulukan. Berikan pujian pada anak jika ia dapat menyelesaikan tugas dengan baik, juga saat ini mampu menyelesaikan tetapi kurang tepat. Ini ditunjukan agar anak tidak segan untuk menjalani test berikutnya
• Item dengan alat yang sama sebaiknya dilakukan secara berurutan agar penggunaan watu agar lebih efesien
• Hanya alat-alat yang akan digunakan saja yang diletakan diatas meja
• Pelaksanaan test untuk semua sector dimulai dari item yang terletak di sebelah kiri garis umur, lalu dilanjutkan ke item di sebelah kanan garis umur
b. Jumlah item yang dinilai tergantung pada lama waktu tersedia, yang terpenting pelaksanaanya mengacu pada tujuan test, yaitu mengidentifikasi perkembangan anak dan menentukan kemampuan anak yang relatif lebih tinggi
6. Cara pengukuran :
a. Tentukan umur anak pada saat pemeriksaan
b. Tarik garik pada lembar DDST II sesuai dengtanumur yang telah ditentukan
c. Lakukan pengukuran pada anak tiap komponen dengan batasan garis yang ada milai dari motorik kasar, bahasa, motorik halus, dan personal social
d. Tentuka hasil penilaian apakah normal, meragukan dan abnormal
e. Tetapkan umur kronologis anak, tanyakan tanggal lahir anak yang akan diperiksa. Gunakan patokan 30 hari untuk satu bulan dan 12 bulan untuk satu tahun.
f. Jika dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari dibulatkan ke bawah, jika sama dengan atau lebih dari 15 hari dibulatkan ke atas.
g. Tarik garis berdasarkan umur kronologis yang memotong garis horisontal tugas perkembangan pada formulir DDST.
h. Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan berapa yang F.
i. Berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasikan dalam: Normal, Abnormal, Meragukan dan tidak dapat dites.
• Abnormal
 Bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan, pada 2 sektor atau lebih
 Bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan Plus 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia
 meragukan Bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih
 Bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
• Tidak dapat dites
Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes menjadi abnormal atau meragukan.
• Normal
Semua yang tidak tercantum dalam kriteria di atas.

Pada anak-anak yang lahir prematur,usia disesuaikan hanya sampai anak usia 2 tahun

7. Cara penilaian
Cara melakukan penilaian DDST, peneliti menentukan usia anak, kemudian menarik garis usia pada lembar DDST sesuai dengan usia anak. Dilakukan tes pada keempat sektor yang dimulai dari item pada sebelah kiri garis usia, kemudian mulai dilakukan pemeriksaan pada keempat sektor yaitu personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar.
Setelah dilakukan tes, dilakukan penilaian, apakah Lulus (Passed = P), gagal tetapi belum melampaui batas umur (Fail = F), gagal karena sudah melampaui batas umur (Delay = D) ataukah anak tidak mendapatkan kesempatan tugas atau anak menolak melakukan tugas (No opportunity = NO). Setelah itu dihitung pada masing-masing sector, berapa yang P, F, dan D,
8. Penilaian test prilaku
Penilaian prilaku dilakukan setelah test selesai. Dengan mengguanakan skala pada lembar test, penilaian ini dapat membandingkan prilaku anak selama test dengan prilaku sebelumnya. Kita boleh menanyakan kepada orang tua atau pengasuh apakah prilaku anak selama test dengan prilaku sebelumnya, kita boleh menanyakan kepada orang tua atau pengasuh apakag prilaku anak sehari-hari sama dengan prilakunya saat itu, terkadang anak tengah dalam kondisi, sakit, atau marah sewaktu menjalani tersebut. Jika demikian test dapat ditunda dan dilanjutkan pada hari lain saat anak telah kooperatif
9. Pemberian nilai untuk setiap itemnya
a. L =lulus /lewat (P= pass). Anak dapat melalkukan item dengan baik atau baik atau orang tua / pengasuh melaporkan secara terpercaya bahwa anak dapat menyelesaikan item tersebut (item tertanda L)
b. G= gagal (F=fail). Anak tidak dapat melakukan item dengan baik atau orang tua / pengasuh melaporkan secara terpercaya bahwa anak tidak dapat melakukan item tersebut (khusus yang bertanda L)
c. M = menolah (R=refusal). Anak menolak atau melakukan test untuk item tersebut. Penolakan dapat dikurangi dengan mengatakan kepada anak apa yang harus dilakukanya (khususnya item tanpa tanda L )
d. Tak = tak ada kesempatan (NO opportunity). Anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan item kerena ada hambatan (khusus item yang bertanda L )
10. Penilaian Peritem
a. Penilaian item “Lebih” (advance) nilai lebih tidak perlu diperhatikan dalam penilaian test secara keseluruhan (karena biasanya hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih tua )
b. Penilaian itm “OK“ atau normal. Nilai tidak perlu di perhatikan dalam penilaian test secara keseluruhan. Nilai OK dapat diberikan pada anak dalam kondisi berikut
• Anak “gagal” (G) atua “menolak” (M) melakukan tugas untuk item disebelah kanan garis usia, kondisis ini wajar karena item disebelah kanan garis usia pada dasarnya merupakan tugas untuk anak yang lebih tua.
• Anak “Lulus” / Lewat (L), “Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukantugas untuk item didaerah putih kotak (daerah 25 %-75%). Jika anak lulus, sudah tentu hal ini dianggap normal
c. Penilaian item P = peringkatan (C=caution)
Nilai “Peringatan” diberikan jika anak “Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas untuk item yang dilalui oleh garis usia pada daerah gelap kotak (daerah 75% - 90%). Hal ini karena hasil riset menunjukkan bahwa sebanyak 75% - 90% anak di usia tersebut sudah berhasil (Lulus) melakukan tugas tersebut. Dengan kata lain, mayoritas anak sudah bisa melaksanakan tugas dengan baik
d. Penilaian item T= “Terlambar” (D = Delayed).
Nilai “Terlambat” diberikan jika anak “Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas untuk item di sebelah kiri garis usia sebab tugas tersebut memang ditujukan untuk anak yang lebih muda. Seorang akan seharusnya mampu melakukan tugas untuk kelompok usia yang lebih muda, yang tentunya berupa tugas-tugas yang lebih ringan. Jika, tugas untuk anak yang leblih muda tidak dapat dilakukan atau ditolak, anak tentu akan mendapatkanpenilaian T (terlambat). Huruf T ditulis di sebelah kanan item dengan hasil penilaian “Terlambar”. Perlu diperhatikan bahwa ada dua macam T. Pertama, terlambat karena anak mengalami kegagalan (G). T jenis ini memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua, terlambat karena anak menolak melaksanakan tugas (M). T jenis ini memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian akhir “Tak dapat diuji”
e. Penilaian item “Tak ada kesempatan” (No Opportunity). Nilai “Tak” ini tidak perlu diperhatikan dalam penilaian tes secara keseluruhan. Nilai “Tak ada kesempatan” diberikan jika anak mendapat skor “Tak” atau tidak ada kesempatan untuk mencoba atau melakukan tes














Test skrining perkembangan dari denver
D. Petunjuk pemakaian
1. Usahakan anak tersenyum dengan memberikan senyum, berbicara atau memberikan isyarat, jangan sentuh anak
2. Anak harus melihat tangan beberapa detik
3. Orang tua dapat membantu mengajari menyikat gigi dan menaruh pasta gigi diatas sikat
4. Anak tidak diharapkan mampu mengikat sepatu atau mengancingkan/resleting dibelakang
5. Gerakan benang perlahan dalam bentuk suatu lengkungan dari satu sisi ke sisi yang lain
6. Lulus jika anak mencoba melihat terus dimana benang menyilang, benang harus dilepaskan dengan cepat dari tangan pemeriksa
7. Lulus jika anak mengambil kismis dengan bagian ibu jari dan jari
8. Menggaris dapat bervariasi hanya 30 derajat
9. Buat kepalan dengan ibu jari yang menunjuk ke atas dan goyangkan hanya ibu jari, lulus jika anak menirukan dan tidak menggerakan semua jari lain selain ibu jari
10. Lulus bila menggambar selain bentuk tertutup, gagal dalam pergerakan yang terus menerus





11. garis mana yang lebih panjang ?(bukan lebih besar). Putar kertas terbaik dan ulangi (lulus 3 dari 3 atau 5 dari 6)
12. lulus bila garis yang bersilang dekat dengan titik tengah
13. biarkan anak meniru dahulu, dan jika gagal perlihatkan
14. dalam memberikan nilai, setiap pasangan (2 lengan, 2 tungkai dll) dihitung sebagai satu bagian
15. tempatkan satu kubus dalam gelas dan goyangkan perlahan dekat telinga anak, tetapi jangan terlihat ulangi dengan telinga lain
16. tunjuk gambar dan minta anak menyebutkannya
17. dengan menggunakan boneka beritahu anak, tunjukan pada saya hidung, mata,telinga, mulut, tangan, kaki, perut, rambut,
18. dengan menggunakan gambar, tanya kepada anak, yang mana yang terbang ? berbunyi meong ? berbicara ?
19. tanyakan kepada anak apa yang kamu lakukan jika kamu sedang kedinginan
20. lulus jika anak secara benar menempatkan dan mengatakan beberapa bnyak balok pada kertas
Observasi :
Suatu garis digambar dari atas sampai bawah berdasarkan usia anak, pemeriksa harus menguji masing-masing tonggak yang disilang dengan garis ini. Setiap tongak mempunyai potongan yang menunjukan presentase populasi “standar” yang harus mampu melakukan tugas ini. Kegagalan dalam melakukan suatu hal yang dilalui oleh 90 % anak-anak adalah signifikan, dua kegagalan dari empat hal utama menunjukan keterlambatan perkembangan, haruslah diketahui bahwa test ini merupakan alat skrening untuk keterlambatan perkembangan, tetapi bukan test “intelegensia”
Fungsional anak saat ini memberikan pengertian kedalam karakteristik anak sekarang. Perkembangan bahasa, motorik, dan sosial anak dan kematangannya direfleksikan dalam tingkah lakunya sekarang. Tanyakan pertanyaan “ bagaimana anda melukiskan sifat anak anda sebagai pribadi ?
E. Contoh kasus perhitungan anak dengan prematur:
An. Lula lahir prematur pada kehamilan 32 minggu, lahir pada tanggal 5 Agustus 2006.
iperiksa perkembangannya dengan DDST II pada tanggal 1 April 2008. Hitung usia kronologis An. Lula!
Diketahui:
Tanggal lahir An. Lula : 5-8-2006
Tanggal periksa : 1-4-2008
Prematur : 32 minggu

Ditanyakan:
Berapa usia kronologis An. Lula?
Jawab:
2008 – 4 – 1 An. Lula prematur 32 minggu
2006 – 8 – 5 Aterm = 37 minggu
_________ – Maka 37 – 32 = 5 minggu
1 – 7 -26

Jadi usia An. Lula jika aterm (tidak prematur) adalah 1 tahun 7 bulan 26 hari atau
1 tahun 8 bulan atau 20 bulan

Usia tersebut dikurangi usia keprematurannya yaitu 5 minggu X 7 hari = 35 hari, sehingga usia kronologis An. Lula untuk pemeriksaan DDST II adalah:
1 tahun 7 bulan 26 hari – 35 hari = 1 tahun 6 bulan 21 hari
Atau
1 tahun 7 bulan atau 19 bulan

Interpretasi dari nilai Denver II
Advanced
Melewati pokok secara lengkap ke kanan dari garis usia kronologis (dilewati pada kurang dari 25% anak pada usia lebih besar dari anak tersebut)
OK
Melewati, gagal, atau menolak pokok yang dipotong berdasarkan garis usia antara persentil ke-25 dan ke-75
Caution
Gagal atau menolak pokok yang dipotong berdasarkan garis usia kronologis di atas atau diantara persentil ke-75 dan ke-90


Delay
Gagal pada suatu pokok secara menyeluruh ke arah kiri garis usia kronologis; penolakan ke kiri garis usia juga dapat dianggap sebagai kelambatan, karena alasan untuk menolak mungkin adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas tertentu

F. Macam Tes Perkembangan
a. Skala Intelegensi Wechsler untuk anak usia prasekolah dan sekolah
Penggunaan tes ini untuk anak usia prasekolah (4 sampai 6,5 tahun), merupakan pengembangan dari penggunaan tes ini sebelumnya yaitu untuk anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa. Tes ini memberikan informasi diagnostik yang berguna untuk penilaian terhadap perkembangan anak yang mengalami kesulitan belajar dan retardasi mental.
b. Skala perkembangan menurut Gessel
Tes ini digunakan pada anak mulai usia 4 minggu sampai 6 tahun, yang bertujuan untuk menetukan tahap kematangan dan kelengkapan kegiatan suatu sistem yang sedang berkembang. Skala Gessel dibagi dalam 4 kelompok utama yaitu perilaku motorik, perilaku adaptif, perilaku bahasa dan perilaku sosial.
c. Tes skrining perkembangan menurut Denver
Denver Developmental Screening Test (DDST) merupakan metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak dan bukan merupakan tes diagnostik atau tes IQ. DDST memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik. Tes ini mudah dilakukan dan cepat (15-20 menit) dapat diandalkan dan menunjukkan validitas yang tinggi.
c. Frakenburg melakukan revisi dan restandarisasi kembali terhadap DDST dan juga tugas perkembangan pada sektor bahasa ditambah, yang kemudian hasil revisi dari DDST dinamakan Denver II yang mempunyai beberapa perbaikan yaitu peningkatan 86 % pada sektor bahasa, dua pemeriksaan untuk artikulasi bahasa, skala umur baru, kategori baru untuk interpretasi kelainan ringan, skala penilaian tingkah laku, dan materi training yang baru.

Denver juga mengelompokkan tugas perkembangan menjadi empat aspek, yaitu :
1. Personal Social (kepribadian atau tingkah laku sosial). Yaitu aspek yang berhubungan dengan kemauan diri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Fine Motor Adaptif (gerakan motorik halus). Yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat.
3. Language (bahasa). Yaitu kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
4. Gross Motor (perkembangan motorik kasar). Yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.

BAB III
PEMBAHASAN

DDST adalah test untuk masalah pada perkembangan anak yang biasa dilakukan pada masa prasekolah. Test tersebut dikelompokkan empat kategori yaitu kontak social, keterampilan motorik halus, bahasa, dan keterampilan motorik kasar dan termasuk barang-barang seperti tersenyum spontan yang biasa dilakukan untuk anak tiga
Untuk bayi, pengujian sering berfungsi untuk meyakinkan orang tua atau untuk mengidentifikasi sifat masalah cukup awal diharapkan untuk memperlakukan mereka. Later in childhood, testing can help delineate academic and social problems, again, hopefully in time to remedy them. Kemudian pada masa kanak-kanak, pengujian dapat membantu masalah-masalah akademik dan sosial menggambarkan, sekali lagi, mudah-mudahan dalam waktu untuk memperbaiki mereka
DDST dilakukan terhadap anak usia 0 bulan sampai 5 tahun. Pemeriksaan DDST pada anak yang normal dan anak yan abnormal dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Hasil yang dapat disimpulkan yaitu :
a) dengan nilai Keterlambatan (abnormal) apabila terdapat 2 keterlambatan atau lebih pada 2 sektor, bola dalam satu sector didapat dua keterlambatan lebih ditmbah satu sector atau lebih tepat satu keterlambatan
b) Meraguakan apabila satu sector terdapat dua keterlambatan atau lebih, satu sector atau lebih didapatkan satu keterlambatan
c) Dapat juga dengan menentukann ada tidaknya keterlambatan pada masing-masing sector nila nilai tiap sector atau tidak menyimpulkan gangguan perkembangan keseluruhan.



BAB IV
KESIMPULAN

DDST (Denver Devplopmant Screening Test) adalah salah satu dari metode screening terhadap kelainan perkembangan anak, test ini bukanlah test diagnosa atau test IQ. DDST memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode screening yang Baik. Test ini mudah dan cepat (15-20menit), dapat diandalkan dan menunjukkan validitas yang baik.
“Denver scale” adalah test screening untuk masalah kognitif dan perilaku pada anak pra sekolah. Test ini dikembangkan wlliam K. Frankenburg (yang mengenalkan pertama kali) dan J.B.Doods pada tahun 1967. DDST dipublikasikan oleh Denver Developmental Material, Inc., di Denver, Colorado. DDST merefleksikan persentase kelompok anak usia tertentu yang dapat menampilkan tugas perkembangan tertentu. Test ini dapat dilakukan oleh dokter spesialis, tenaga profesional kesehatan lainnya, atau tenaga professional kesehatan dalam layanan social. Dalam perkembangan lainnya DDST mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah Denver II yang merupakan hasil revisi dan standarisasi dari DDST dan DDST-R (revised denver developmental screening test). Perbedaaan denver II dengan screening terdahulu terletak pada item-item test, bentuk, interprestasi dan rujukan.


DAFTAR PUSTAKA

Franskenburg,William.1973.Denver Development Screnning Test: manual/for nursing7paramedical personnel.University of Colorado Medical Center
Hidayat, Azis Alimul.2005.Pengantar Ilmu Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika
http://shufriyahsundu1990.blogspot.com/2011/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html/8/2/1011
http://ilmu-ilmukeperawatan.blogspot.com/2011/01/denver-development-screening-test-ddst.html/8/2/2011

perdarahan antenatal

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendarahan adalah salah satu kejadian yang menakutkan selama kehamilan. Pendarahan ini dapat bervariasi mulai dari jumlah yang sangat kecil (binti-bintik), sampai pendarahan hebat dengan gumpalan dank ram perut. Karena itu, pendarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai suatu keadaan akut yang dapat membahayakan ibu dan anak, sampai dapat menimbulkan kematian.
Sebanyak 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan sebagian mengalami abortus. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakberdayaan dari wanita sehingga ditinjau dari suatu kesehatan akan sangat ditanggulangi utnuk meningkatakan keberdayaan seorang wanita. Mengingat akan hal tersebut, maka penting untuk mengetahui lebih dalam mengenai masalah perdarahan saat kehamilan ini.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu meninjau masalah perdarahan antenatal.

C. Metodologi
Metodologi yang dipakai, yaitu dengan penelusuran kepustakaan dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik.

D. Sistematika Penulisan


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Perdarahan antenatal pada trimester pertama (kehamilan muda) adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 22 minggu (Saifuddin : 2004).
Perdarahan antenatal pada kehamilan lanjut adalah perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan atau perdarahan intrapartum sebelum kelahira (Saifuddin : 2004).
Perdarahan kehamilan muda adalah perdarahan pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu atau kurang dari usia kehamilan 5 bulan (Maulana : 2008).
Perdarahan kehamilan lanjut adalah perdarahan dari saluran genital di akhir kehamilan setelah usia gestasi 24 minggu dan sebelum awitan persalinan (Fraser Cooper : 2009).
Jadi, Perdarahan antenatal merupakan perdarahan dari traktus genital yang terjadi pada saat kehamilan.

2. Etiologi
Perdarahan pada trimester pertama biasanya akibat abortus, blighted ovum, hamil anggur, dan kehamilan ektopik pada trimester kedua diakibatkan plasenta previa dan penyakit atau kelainan mulut rahim. Dan perdarahan pada trimester ketiga diakibatkan oleh plasenta previa, solusio plasenta dan preklamsia.

3. Patofisiologi
a. Perdarahan pada Kehamilan muda
1) Abortus
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nerkrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Abortus biasanya disertai dengan perdarahan di dalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau seluruhnya dan mungkin menjadi benda asing di dalam uterus sehingga merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin.
2) Kehamilan Ektopik
Proses implantasi ovum yang dibuahi terjadi di tuba pada dasarnya sama halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian direasibsu, setekag tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Pembentukan desidua di tuba tidak sempurna. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa factor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan . sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.
1. Hasil konsepsi mati dini dan resorbsi
2. Abortus ke dalam lumen tuba
3. Rupture dinding tuba.
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam prjalanannya menuju kavum utei. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberfapa kemungkinan akibat dari hal ini yaitu :
a) Kemungkinan “tubal abortion “, lepas dan keluarnyda darah dan jaringan ke ujung distal (timbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum baisanya tidak begityu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba.
b) Kemungkinan rupture dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba.
c) Faktor abortus ke dalam lumen tuba.
Rupture dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Rupture dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hinggabanyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.

b. Perdarahan pada kehamilan Lanjut
1) Plasenta Previa
Seluruh plasenta biasanya terletak pada segmen atau uterus. Kadang-kadang bagian atau seluruh organ dapat melekat pada segmen bawah uterus, dimana hal ini dapat diketahui sebagai plasenta previa. Karena segmen bawah agak merentang selama kehamilan lanjut dan persalinan, dalam usaha mencapai dilatasi serviks dan kelahiran anak, pemisahan plasenta dari dinding uterus sampai tingkat tertentu tidak dapat dihindarkan sehingga terjadi pendarahan.
2) Solusio Plasenta
Terjadinya solusio plasenta dipicu oleh perdarahan ke dalam desidua basalis yang kemudian terbelah dan meningkatkan lapisan tipis yang melekat pada mometrium sehingga terbentuk hematoma desidual yang menyebabkan pelepasan, kompresi dan akhirnya penghancuran plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut.
Ruptur pembuluh arteri spiralis desidua menyebabkan hematoma retro plasenta yang akan memutuskan lebih banyak pembuluh darah, hingga pelepasan plasenta makin luas dan mencapai tepi plasenta, karena uterus tetap berdistensi dengan adanya janin, uterus tidak mampu berkontraksi optimal untuk menekan pembuluh darah tersebut. Selanjutnya darah yang mengalir keluar dapat melepaskan selaput ketuban.Pohon masalah

4. Manifestasi Klinik
a. Perdarahan kehamilan muda
1) Abortus
a. Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.
b. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
c. Pendarahan pervaginam, mungkin disertai hasil konsepsi.
d. Rasa mulas atau keram perut didaerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus.
e. Pemeriksaan ginekologis.
(1) Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam
(2) Inspeksi perdarahan pada kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup.
(3) Colok vagina porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri.

2) Kehamilan ektopik
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam ronggaperut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung padalamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaanumum penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu. Halini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahanmendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya. Secara umum, tanda dan gejala kehamilan ektopik adalah
a) Nyeri abdomen bawah atau pelvic, disertai amenorrhea atau spotting atau perdarahan vaginal
b) Menstruasi abnormal
c) Abdomen dan pelvis yang lunak
d) Perubahan pada uterus yang dapat terdorong ke satu sisi oleh massa kehamilan, atau tergeser akibat perdarahan. Dapat ditemukan sel desidua pada endometrium uterus.
e) Penurunan tekanan darah dan takikardi bila terjadi hipovolemi.
f) Massa pelvis
g) Kuldosentesis. Untuk identifikasi adanya hemoperitoneum yang ditandai

Beberapa gejala berikut dapat membantu dalam mendiagnosis kehamilan ektopik:
1. Nyeri: Nyeri panggul atau perut hampir terjadi hampir 100% kasus kehamilan ektopik. Nyeri dapat bersifat unilateral atau bilateral , terlokalisasi atau tersebar.
2. Perdarahan: Perdarahan abnormal uterin, biasanya membentuk bercak. Biasanya terjadi pada 75% kasus
3. Amenorhea: Hampir sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik yang memiliki berkas perdarahan pada saat mereka mendapatkan menstruasi, dan mereka tidak menyadari bahwa mereka hamil

b. Perdarahan kehamilan tua
1) Plasenta Previa
Menururt FKUI (2000), tanda dan gejala plasenta previa diantaranya adalah :
1. Pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari biasanya dan berulang.
2. Darah biasanya berwarna merah segar atau kehitaman dengan bekuan.
3. Terjadi pada saat tidur atau saat melakukan aktivitas
4. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak janin.
5. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal, kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding) biasanya lebih banyak.

2) Solusio plasenta
Manifestasi klinis solusio plasenta dapat dibagi menjadi :
a) Anamnesis
Perdarahan biasanya pada trimester ketiga, perdarahan pervaginan berwarna kehitam-hitaman yang sedikit sekali dan tanpa rasa nyeri sampai dengan yang disertai nyeri perut, uterus tegang perdarahan pervaginan yang banyak, syok dan kematian janin intra uterin.
b) Pemeriksaan fisik
Tanda vital dapat normal sampai menunjukkan tanda syok.
c) Pemeriksaan obstetri
Nyeri tekan uterus dan tegang, bagian-bagian janin yang sukar dinilai, denyut jantung janin sulit dinilai / tidak ada, air ketuban berwarna kemerahan karena tercampur darah.

5. Tes Diagnostik
a. Perdarahan kehamilan muda
1) Abortus
a) Positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus
b) Pemeriksaaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
c) Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion

2) Kehamilan ektopik
Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain dengan melihat (5,6,8):
a) Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.
b) Pemeriksaan fisis
Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
c) Pemeriksaan ginekologis.
Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.
d) Pemeriksaan Penunjang
(1) Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
(2) USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri,Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri,Adanya massa komplek di rongga panggul.
e) Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah.
f) Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
g) Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus.

b. Perdarahan kehamilan lanjutan
1. Plasenta Previa
a) Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung tanpa sebab.
b) Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum masuk pintu atas panggul.
c) Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum.
d) USG untuk menentukan letak plasenta. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara ini hanya

2. Solusio plasenta
a. Pemeriksaan laboratorium darah : hemoglobin, hemotokrit, trombosit, waktu protombin, waktu pembekuan, waktu tromboplastin, parsial, kadar fibrinogen, dan elektrolit plasma
b. Cardiotokografi untuk menilai kesejahteraan janin.
c. USG untuk menilai letak plasenta, usia gestasi dan keadaan janin.

6. Penatalaksanaan Medis
a. Perdarahan kehamilan muda
1. Abortus
2. Kehamilan ektopik
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% -hCG. pasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar -hCG yang stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada -hCG yang keadaan-keadaan berikut:
a. Kehamilan ektopik dengan kadar menurun
b. Kehamilan tuba
c. Tidak ada perdarahan intraabdominal atau rupture
d. Diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber -hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL,lain menyebutkan bahwa kadar dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
e. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini : keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.
Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron, disebutkan dalam literatur antara lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum.
Namun disebutkan dalam sumber -hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa hanya kadar -hCG serial dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik -hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. -hCG masih perlu diawasi setiap Setelah terapi berhasil, kadar minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.

Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
f. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
1) Salpingostomi
2) Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
3) Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
4) Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
a. kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)
b. pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif
c. terjadi kegagalan sterilisasi
d. telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya
e. pasien meminta dilakukan sterilisasi
f. perdarahan berlanjut pasca salpingotomi
g. kehamilan tuba berulang
h. kehamilan heterotopik, dan massa gestasi berdiameter lebih dari 5cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
i. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.


b. Perdarahan kehamilan lanjutan
1. Plasenta Previa
Menurut Wiknjosastro (2005), penatalaksanaan yang diberikan untuk penanganan plasenta previa tergantung dari jenis plasenta previanya yaitu :
a) Kaji kondisi fisik klien
b) Menganjurkan klien untuk tidak coitus
c) Menganjurkan klien istirahat
d) Mengobservasi perdarahan
e) Memeriksa tanda vital
f) Memeriksa kadar Hb
g) Berikan cairan pengganti intravena RL
h) Berikan betametason untuk pematangan paru bila perlu dan bila fetus masih premature
i) Lanjutkan terapi ekspektatif bila KU baik, janin hidup dan umur kehamilan

2. Solusio plasenta
a. Harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas operasi .
b. Sebelum dirujuk , anjurkan pasien untuk tirah baring total dengan menghadap ke kiri , tidak melakukan senggama , menghindari eningkatan tekanan rongga perut .
c. Pasang infus cairan Nacl fisiologi . Bila tidak memungkinkan . berikan cairan peroral .
d. Pantau tekanan darah & frekuensi nadi tiap 15 menit untuk mendeteksi adanya hipotensi / syk akibat perdarahan . pantau pula BJJ & pergerakan janin .
e. Bila terdapat renjatan , segera lakukan resusitasi cairan dan tranfusi darah , bila tidak teratasi , upayakan penyelamatan optimal . bila teratsi perhatikan keadaan janin .
f. Setelah renjatan diatasi pertimbangkan seksio sesarea bila janin masih hidup atau persalinan pervaginam diperkirakan akan berlangsung lama . bila renjatan tidak dapat diatasi , upayakan tindakan penyelamatan optimal .
g. Setelah syk teratasi dan janin mati , lihat pembukaan . bila lebih dari 6 cm pecahkan ketuban lalu infus oksitosin . bila kurang dari 6 cm lakukan seksio sesarea .
Bila tidak terdapat renjatan dan usia gestasi kurang dari 37 minggu / taksiran berat janin kurang dari 2.500 gr . penganganan berdasarkan berat / ringannya penyakit

7. Komplikasi
a. Perdarahan kehamilan muda
1. Abortus
Komplikikasi utama dapat mencakup hemoragi, syok, renal failure (faal ginjal rusak), infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis
2. Kehamilan ektopik
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
pengobatan konservatif,Pada yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.

b. Perdarahan kehamilan lanjutan
1. Plasenta Previa
Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan. Plasentitis, dan endometritis pasca persalinan. Pad janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasinya seperti asfiksia berat.

2. Solusio plasenta
1. Langsung (immediate)
• Perdarahan
• Infeksi
• emboli dan syok abtetric.
b. Tidak langsung (delayed)
• couvelair uterus, sehinga kontraksi tak baik, menyebabkan perdarahan post partum
• hipofibrinogenamia dengan perdarahan post partum.
• nikrosis korteks neralis, menyebabkan anuria dan uremi
• kerusakan-kerusakan organ seperti hati, hipofisis.
c. Tergantung luas plasenta yang terlepas dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi pada ibu ialah perdarahan, koalugopati konsumtif (kadar fibrinogen kurang dari 150 mg % dan produk degradasi fibrin meningkat), oliguria, gagal ginjal, gawat janin, kelemahan janin dan apopleksia utero plasenta (uterus couvelar). Bila janin dapat diselamatkan, dapat terjadi komplikasi asfiksia, berat badan lahir rendah da sindrom gagal nafas.









B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan bagi klien. Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
Biodata : mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat
Keluhan utama : Kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan pervaginam berulang
Riwayat kesehatan , yang terdiri atas :
1) Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.
Riwayat penyakit yang pernah dialami : Kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM , jantung , hipertensi , masalah ginekologi/urinary , penyakit endokrin , dan penyakit-penyakit lainnya.
Riwayat kesehatan keluarga : Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
Riwayat kesehatan reproduksi : Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya dismenorhoe serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan yang menyertainya
Riwayat kehamilan , persalinan dan nifas : Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
Riwayat seksual : Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta keluahn yang menyertainya
Riwayat pemakaian obat : Kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.
Pola aktivitas sehari-hari : Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.

Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran : composmetis s/d coma
Postur tubuh : biasanya gemuk
Cara berjalan : biasanya lambat dan tergesa-gesa
Raut wajah : biasanya pucat
2) Tanda-tanda vital
Tensi : normal sampai turun (syok) (<>
Nadi : normal sampai meningkat (> 90x/menit)
Suhu : normal / meningkat (> 37o c)
RR : normal / meningkat (> 24x/menit)
3) Pemeriksaan cepalo caudal
a) Kepala : kulit kepala biasanya normal / tidak mudah mengelupas rambut biasanya rontok / tidak rontok
b) Muka : biasanya pucat, tidak oedema ada cloasma
c) Hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung
d) Mata : conjunctiva anemis
e) Dada : bentuk dada normal, RR meningkat, nafas cepat da dangkal, hiperpegmentasi aerola.
f) Abdomen
Inspeksi : perut besar (buncit), terlihat etrio pada area perut, terlihat linea alba dan ligra
Palpasi rahim keras, fundus uteri naik
Auskultasi : tidak terdengar DJJ, tidak terdengar gerakan janin.
4) Genetalia
Hiperpregmentasi pada vagina, vagina berdarah / keluar darah yang merah kehitaman, terdapat farises pada kedua paha / femur.
5) ekstimitas
Akral dingin, tonus otot menurun.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , acral dingin , Hb turun , muka pucat & lemas .
b) Resiko tinggi terjadinya letal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
c) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus di tandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus .
d) Gangguan psikologi ( cemas ) berhubungan dengan keadaan yang dialami .
e) Potensial terjadinya hypovolemik syok berhubungan dengan perdarahan .
f) Kurang pengetahuan klien tentang keadaan patologi yang dialaminya berhubungan dengan kurangnya informasi .

3. Intervensi
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan ditandai dengan conjunctiva anemis, acrar dingin, Hb turun, muka pucat, lemas.
Tujuan : suplai / kebutuhan darah kejaringan terpenuhi
Kriteria hasil: Conjunctiva tida anemis, acral hangat, Hb normal muka tidak pucat, tida lemas.
Intervensi:
1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
Rasional : pasien percaya tindakan yang dilakukan
2. Jelaskan penyebab terjadi perdarahan
Rasional : pasien paham tentang kondisi yang dialami
3. Monitor tanda-tanda vital
Rasional : tensi, nadiyang rendah, RR dan suhu tubuh yang tinggi menunjukkan gangguan sirkulasi darah.
4. Kaji tingkat perdarahan setiap 15 – 30 menit
Rasional : mengantisipasi terjadinya syok
5. Catat intake dan output
Rasional : produsi urin yang kurang dari 30 ml/jam menunjukkan penurunan fungsi ginjal.
6. Kolaborasi pemberian cairan infus isotonik
Rasional : cairan infus isotonik dapat mengganti volume darah yang hilang akiba perdarahan.
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah bila Hb rendah
Rasional : tranfusi darah mengganti komponen darah yang hilang akibat perdarahan.

b. Resiko tinggi terjadinya fetal distres berhubungan dengan perfusi darah ke placenta berkurang.
Tujuan : tidak terjadi fetal distress
Kriteria hasil : DJJ normal / terdengar, bisa berkoordinasi, adanya pergerakan bayi, bayi lahir selamat.
Intervensi:
1. Jelaskan resiko terjadinya dister janin / kematian janin pada ibu
Rasional : kooperatif pada tindakan
2. Hindari tidur terlentang dan anjurkan tidur ke posisi kiri
Rasional : tekanan uterus pada vena cava aliran darah kejantung menurun sehingga terjadi perfusi jaringan.
3. Observasi tekanan darah dan nadi klien
Rasional : penurunan dan peningkatan denyut nadi terjadi pad sindroma vena cava sehingga klien harus di monitor secara teliti.
4. Oservasi perubahan frekuensi dan pola DJ janin
Rasional : penurunan frekuensi plasenta mengurangi kadar oksigen dalam janin sehingga menyebabkan perubahan frekuensi jantung janin.
5. Berikan O2 10 – 12 liter dengan masker jika terjadi tanda-tanda fetal distress
Rasional : meningkat oksigen pada janin

c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kontraksi uteres ditandai terjadi distrensi uterus, nyeri tekan uterus.
Tujuan : klien dapat beradaptasi dengan nyeri
Kriteria hasil : Klien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri dan klien kooperatif dengan tindakan yang dilakukan.
Intervensi:
1. Jelaskan penyebab nyeri pada klien
Rasional : dengan mengetahui penyebab nyeri, klien kooperatif terhadap tindakan
2. Kaji tingkat
Rasional : menentukan tindakan keperawatan selanjutnya.
3. Bantu dan ajarkan tindakan untuk mengurangi rasa nyeri.
Tarik nafas panjang (dalam) melalui hidung dan meng-hembuskan pelan-pelan melalui mulut.
Rasional : dapat mengalihkan perhatian klien pada nyeri yang dirasakan.
Memberikan posisi yang nyaman (miring kekiri / kanan)
Rasional : posisi miring mencegah penekanan pada vena cava.
Berikan masage pada perut dan penekanan pada punggung
Rasional : memberi dukungan mental.
4. Libatkan suami dan keluarga
Rasional : memberi dukungan mental

d. Gangguan psikologis (cemas) berhubungan dengan keadaan yang dialami
Tujuan : klien tidak cemas dan dapat mengerti tentang keadaannya.
Kriteria hasil : penderita tidak cemas, penderita tenang, klie tidak gelisah.
Intervensi:
1. Anjurkan klilen untuk mengemukakan hal-hal yang dicemaskan.
Rasional : dengan mengungkapkan perasaannyaaka mengurangi beban pikiran.
2. Ajak klien mendengarkan denyut jantung janin
Rasional : mengurangi kecemasan klien tentag kondisi janin.
3. Beri penjelasan tentang kondisi janin
Rasional : mengurangi kecemasan tentang kondisi / keadaan janin.
4. Beri informasi tentang kondisi klien
Rasional : mengembalikan kepercayaan dan klien.
5. Anjurkan untuk manghadirkan orang-orang terdekat
Rasional : dapat memberi rasa aman dan nyaman bagi klien
6. Anjurkan klien untuk berdo’a kepada tuhan
Rasional : dapat meningkatkan keyakinan kepada Tuhan tentang kondisi yang dilami.
7. Menjelaskan tujuan dan tindakan yang akan diberikan
Rasional : penderita kooperatif.

e. Potensial terjadinya hypovolemik syok berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil : *Perdarahan berkurang, Tanda-tanda vital normal, Kesadaran kompos mentis
Intervensi:
1. Kaji perdarahan setiap 15 – 30 menit
Rasional : mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin.
2. monitor tekanan darah, nadi, pernafasan setiap 15 menit, bila normal observasi dilakukan setiap 30 menit.
Rasional : mengetahui keadaan pasien
3. Awasi adanya tanda-tanda syok, pucat, menguap terus keringat dingin, kepala pusing.
Rasional : menentkan intervensi selanjutnya dan mencegah syok sedini mungkin
4. Kaji konsistensi abdomen dan tinggi fundur uteri.
Rasional : mengetahui perdarahan yang tersembunyi
5. Catat intake dan output
Rasional : produksi urine yang kurang dari 30 ml/jam merupakan penurunan fungsi ginjal.
6. Berikan cairan sesuai dengan program terapi
Rasional : mempertahanka volume cairan sehingga sirkulasi bisa adekuat dan sebagian persiapan bila diperlukan transfusi darah.
7. Pemeriksaan laboratorium hematkrit dan hemoglobin
Rasional : menentukan intervensi selanjutnya

f. Kurangnya pengetahuan klien tentang keadaan patologi yang dialaminya berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : penderita dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria hasil : dapat menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyakitnya.
Intervensi:
1. Kaji tingkat pengetahuan penderita tentang keadaanya
Rasional : menentukan intervensi keperawatan selanjutnya.
2. Berikan penjelasan tentang kehamilan dan tindakan yang akan dilakukan.
a. Pengetahua tentang perdarahan antepartum.
b. Penyebab
c. Tanda dan gejala
d. Akibat perdarahan terhadap ibu dan janin
e. Tindakan yang mungkin dilakukan
Rasional : penderita mengerti dan menerima keadaannya serta pederita menjadi kooperatif.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Di tinjau dari segi Kesehatan yaitu perdarahan selama kehamilan, maka
banyak faktor yang menyebabkan pengurangan pemberdayaan wanita. Dan telah
banyak pula hal-hal yang diberikan dalam cara-cara penanggulangannya di tinjau
pula dari segi kesehatan sehingga keberdayaan wanita itu dapat pula
ditingkatkan dibelakang hari. Terutama pada generasi wanita yang akan datang.
Sebab dari sekian banyak kendala telah pula diberikan beberapa cara
antisipasinya, sehingga betul-betul keberdayaan wanita itu akan bertambah
ditinjau dari satu segi kesehatan yang begitu komplex.
Kematian ibu selama kehamilan ada tiga hal pokok yaitu, perdarahan
selama kehamilan, pereklamsi,eklamsi dan infeksi. Tetapi yang kami
ketengahkan, baru kematian ibu akibat perdarahan selama kehamilan dan
penanggulangannya, untuk meningkatkan keberdayaan seorang wanita.
Diantaranya adalah abortus, mola hidatidosa, kehamilan ektopik yang terganggu,
menstruasi dan kehamilan normal, kelainan lokal pada vagina dan servik seperti
varises, perlukaan, erosi, polip dan keganasan, partus prematus, solusio
plasenta, inkopetensi servik, perdarahan ante partum seperti plasenta previa, dan
lain-lain.
Untuk meningkatkan pemberdayaan wanita maka diharapkan setiap
wanita yang mengalami perdarahan pervagina selama kehamilan seyogyanya
harus memeriksakan diri ke dokter spesialis, untuk selanjutnya dapat ditangani
olehnya begitupun bagi wanita sendiri (penderita), perlu mengetahui hari
pertama haid terakhir, gejala dan tanda kehamilan, riwayat obstetri teruahulu,
riwayat ginekologi seperti servisitis atau operasi, riwayat Keluarga Berencana,
perdarahan kwalitas dan kwantitasnya dan lain-lain. Juga disamping itu perlu
diketahui pemeriksaan penunjang seperti vaginal smear, USG, Test kehamilan,
pemeriksaan hemoglobin, pemerisaan inkomtabiliti rhesus dan sistem ABC dan
lain-lain. Dengan demikian kita dapat yakin bahwa kesetaraan dengan pria ini, akan
dapat terwujud ditinjau dari segi kesehatan.



DAFTAR PUSTAKA


Fraser&Cooper.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta : EGC
Maulana, Mirza.2008.Penyakit Kehamilan dan Pengobatannya.Yogyakarta : Katahati
Wiknjosastro, Hanifa.2007.Ilmu Kebidanan.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo