Senin, 12 Desember 2011

care of survivors abuse and violence

A. Definisi Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009). 1. Penganiayaan Anak Child abuse yaitu tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi (David Gill, 1973) a. Child Abuse yaitu perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual (Synder, 1983). b. Child Abuse adalah penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak, dimana ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak. 2. Penganiayaan Lansia Tindakan yang disengaja atau kelalaian terhadap lansia baik dalam bentuk malnutrisi, fisik/tenaga atau luka fisik, psikologis oleh orang lain yang disebabkan adanya kegagalan pemberian asuhan, nutrisi, pakaian, pengawasan, pelayanan medis,rehabilitasi dan perlindungan yang dibutuhkan. 3. Penganiayaan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh penyerangan dan pemaksaan, termasuk penyerangan secara fisik, seksual, dan psikologis, demikian pula pemaksaan secara ekonomi yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap pasangan intim mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri mereka (Ichamor, 2009). B. Asuhan Keperawatan 1. Penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami/istri, dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiayaan dan perilaku kekerasan yang tidak dapat diterima bila dilakukan orang yang tidak dikenal sering kali ditoleransi selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat yang paling berbahaya bagi korban. studi penelitian mengidentifikasi beberapa karakteristik umum kekerasan dalam keluarga tanpa memerhatikan tipe penganiayaan. Isolasi Sosial Salah satu karakteristik kekerasan dalam keluarga ialah isolasi sosial. Anggota keluarga ini merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang lain datang ke rumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami penganiayaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung, atau hewan peliharaan mereka akan dibunuh jika orang di luar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri “urusan keluarga yang pribadi.” Kekuasaan dan Kontrol Anggota keluarga yang melakukan penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial. Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau diizinkanuntuk meluangkan waktu di luar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya menyebabkan peningkatan perilaku kekeraan (Singer et al., 1995). Penyalahgunaan Alkohol dan Obat-Obatan Lain Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan hubungan sebab dan akibat alkohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya; sebaliknya, penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan lain. Lima puluh sampai sembilan puluh persen pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Jumlah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50% (Commission on Domestic Violence, 1999). Akan tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol dapat mengurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebih intens atau sering (Denham, 1995). Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDC’s Division of Violence Prevention melaporkan bahwa studi yang berlebihan yang dikaitkan dengan penganiayaan seksual. Selain itu, penggunaan flunitrazepam (Rohypnol) digunakan untuk mengurangi korban potensial pemerkosaan terhadap pasangan kencan meningkat di Amerika serikat walaupun tersebut legal (Smith, Wesson, & Calhoun, 1999). Proses Transmisi Antargenerasi Proses transmisi antargenerasi berarti bahwa pola perilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial (Humphreys, 1997; Tyara, 1996). Transmisi antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola perilaku yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Statistik menunjukkan bahwa sepertiga pria penganiaya cenderung berasal dari rumah tangga yang terdapat tindak kekerasan, yang didalamnya mereka menyaksikan pemukulan terhadap istri atau mereka sendiri dianiaya. Lima puluh persen wanita yang tumbuh di rumah yang di dalamnya terjadi kekerasan lebih cenderung mengira atau menerima tindak kekerasan dalam hubungan yang mereka jalin (Singer et al, 1995). Akan tetapi, tidak semua orang yangmenyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan perilaku kekerasan yang terus ada. Pertimbangan Budaya Commision on Domestic Violence (1999) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga memengaruhi keluarga dari seluruh etnik, ras, usia, asal negara, orientasi seksual, agama, dan latar belakang sosiolekonomi. Akan tetapi, populasi spesifik yang dibahas oleh komisi tersebut ialah wanita imigran. Wanita imigran yang disiksa menghadapi masalah hukum, sosial, dan ekonomi yang berbeda dari mereka yang merupakan negara Amerika Serikat, apalagi mereka berasal dari latar belakang budaya, ras, atau etnik yang berbeda : a. Wanita yang disiksa mungkin berasal dari budaya yang menerima kekerasan dalam rumah tangga. b. Ia mungkin yakin bahwa ia kurang memiliki akses ke layanan hukum dan sosial daripada warga negara. c. Apabila ia bukan warga negara, ia mungkin dipaksa untuk meninggalkan Amerika Serikat jika ia mencari sanksi hukum atas perlakuan suaminya atau berupaya meninggalkannya. d. Ia terisolasi oleh dinamika budaya yaang tidak mengizinkannya untuk meninggalkan suami; dari segi ekonomi, ia mungkin tidak mampu mendapatkan penghasilan untuk meninggalkan suaminya, bekerja, atau menempuh pendidikan di sekolah. e. Barier bahasa dapat menghambat kemampuannya untuk menghubungi991, mempelajari hak-haknya atau pemilihan umum, atau memperoleh tempat tinggal, bantuan finansial atau makan. 2. Penganiayaan Pasangan Penganiayaan pasangan ialah perlakuan semena-mena atau penyalahgunaan seseorang oleh orang lain dalam konteks hubungan intim. Penganiayaan dapat berupa penganiayaan emosional, psikologis, fisik, seksual, atau kombinasi semua tipe tersebut, yang umum terjadi (Singer et al., 1995). Penganiayaan psikologis atau emosional antara lain mengejek, meremehkan, berteriak dan memekik, merusak barang, dan mengancam, serita bentuk penganiayaan yang lebih tidak kentara, misalnya menolak berbicara dengan korban. Penganiayaan fisik dapat berkisar dari mendorong dna mendesak sampai pemukulan berat dan mencekik, yang menyebabkan ekstermitas dan tulang iga patah, perdarahan internal, kerusakan otak, dan bahkan pembunuhan. Penganiayaan seksual meliputi serangan fisik selama hubungan seksual, misalnya menggigit puting, menjambak rambut, menampar dan memukul serta memerkosa. Gambaran klinis Seorang suami penganiaya sering yakin bahwa istrinya adalah miliknya, sama seperti harta milik, dan ia semakin keras dan kejam jika istrinya menunjukkan tanda kemandirian, misalnya mendapatkan pekerjaan atau mengancam akan bercerai. Penganiaya tipikal biasanya belum dewasa secara emosional dan sangat miskin, memiliki perasaan tidak mampu yang kuat dan harga diri rendah, memiliki keterampilan sosial dan keterampilan penyelesaian masalah yang buruk, dan secara irasional pencemburu dan posesif. Ia bahkan cemburu terhadap perhatian istri kepada anak-anak mereka sendiri, dan sering memukuli anak dan istrinya. Dengan mengintimidasi keluarganya serta memberi hukuman fisik pada mereka, penganiaya sering merasa memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap anggota keluarga, suatu perasaan yang menghindarkannya dalam kehidupan di luar keluarga. Oleh karena itu, perilaku kekerasan sering membuatnya puas dan meningkatkan harga dirinya. Sifat paling sering ditemukan pada istri yang teraniaya dan tinggal bersama suami mereka ialah ketergantungan. Ketergantungan personal dan finansial sering disebut sebagai alasan wanita sangat sulit meninggalkan hubungan yang abusive. Tanpa memerhatikan kemampuan atau talenta dirinya, korban menganggap dirinya tidak mampu melakukan sesuatu tanpa suaminya. Sering kali ia menderita karena harga diri rendah dan mendefinisikan keberhasilannya sebagai individu berdasarkan kemampuan untuk tetap setia pada pernikahannya dan “membuat pernikahannya langgeng.” Beberapa wanita menginternalisasi kritik yang mereka terima dan memiliki keyakinan yang keliru bahwa mereka yang salah. Para wanita juga takut penganiaya akan membunuh mereka jika mereka mencoba meninggalkanmu. Rasa takut ini tampaknya merupakan hal yang realistis bila dilihat dari statistik nasional yang menunjukkan bahwa wanita yang dibunuh oleh pasangan atau kekasih mereka sering berusaha meninggalkan atau sudah meninggalkan pasangan mereka (Hattendorf & Tollerud, 1997). Siklus Penganiayaan dan Kekerasan Alasan lain yang sering diajukan mengapa wanita sulit meninggalkan hubungan yang abusive ialah siklus kekerasan atau penganiayaan. Ada pola yang khas bagaimana penganiayaan terjadi. Episode awal pemukulan atau perilaku kekerasan biasanya diikuti oleh periode ketika penganiayaan mengungkapkan peneyesalan dan meminta maaf, dengan berjanji bahwa hal tersebut tidak akan terulang. Ia menyatakan cinta kepada istrinya, bahkan dapat menunjukkan perilaku romantis, dengan membelikan hadiah dan bunga. Periode penyesalan ini kadang-kadang disebut periode bulan madu. Wanita biasanya ingin memercayai suaminya dan berharap bahwa kekerasan yang dialaminya adalah suatu insiden tersendiri. Setelah periode bulan madu ini, terjadi fase munculnya ketegangan yang diwarnai oleh pertengkaran, saling diam, atau suami lebih banyak mengeluh. Ketegangan tersebut berakhir dengan episode kekerasan lain, selain itu suami penganiaya merasa menyesal dan berjanji untuk berubah. Siklus ini terjadi berulang-ulang. Setiap waktu korban terus berharap bahwa kali ini kekerasan akan berakhir. Pada awalnya periode bulan madu dapat berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, yang membuat wanita yakin bahwa hubungan telah membaik dan perilaku suaminya telah berubah. Pada waktu selanjutnya, episode kekerasan terjadi lebih sering, periode penyesalan tidak ada sama sekali, dan tingkat kekerasan serta keparahan cedera semakin berat. Pada akhirnya, perilaku kekerasan rutin terjadi, beberapa kali seminggu atau bahkan tiap hari. A. Pengkajian 1) Kecemasan a) Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal. b) Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang terintegrasi seseorang. c) Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri secara fisik maupun psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas. 2) Gangguan tidur 3) Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi pelayanan juga merupakan sumber yang penting. 4) Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah psikologis. 5) Gangguan Seksual B. Terapi dan Intervensi Karena kebanyakan wanita yang teraniaya tidak mencari banyak bantuan langsung untuk penganiayaan, perawat harus mampu membantu mengidentifikasi wanita yang teraniaya di berbagai lingkungan. Perawat dapat bertemu wanita yang teraniaya di ruang kedaruratan, klinik, atau di tempat praktik kedokteran anak. Beberapa diantaranya mungkin ditemui ketika mencari terapi untuk kondisi medis lain yang tidak langsung berhubungan dengan penganiayaan, atau ketika mereka hamil. Mengidentifikasi wanita yang teraniaya dan memerlukan bantuan adalah prioritas utama Departement of Health and Human Service. Perawat umum tidak diharapkan untuk menangani masalah yang rumit ini sendirian. Akan tetapi, perawat dapat melakukan rujukan dan menghubungi profesional perawatan kesehatan yang tepat dan berpengalaman dalam menangani wanita yang teraniaya. Perawat terutama dapat memberikan perawatan dan dukungan kepada klien selama interaksi. Banyak rumah sakit, klinik, dan tempat praktik dokter menanyakan tentang masalah keamanan kepada semua wanita sebagai bagian pengkajian riwayat kesehatan atau wawancara masukan. Karena hal ini merupakan isu yang sensitif dan riskan, dan banyak wanita yang teraniaya merasa takut atau malu untuk mengakui bahwa mereka dianiaya, perawat harus terlatih dalam mengajukan pertanyaan yang tepat tentang penganiayaan. Tempat penampungan wanita korban pemukulan dapat menyediakan tempat tinggal yang teraniaya dan anak-anaknya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan hubungan yang abusive. Akan tetapi, di banyak kota, tempat penampungan sudah penuh, beberapa memiliki daftar tunggu, dan bantuan yang diberikan bersifat sementara. Wanita yang meninggalkan hubungan yang abusive mungkin tidak memiliki penghasilan dan keterampilan atau pengalamannya dalam bekerja terbatas, dan ia sering kali mempunyai anak-anak yang menjadi tanggungannya. Hal ini merupakan hambatan yang sulit diatasi dan bantuan masyarakat atau bantuan swasta terbatas. Selain banyak cedera fisik yang dapat dialami wanita yang teraniaya, ada juga konsekuensi psikologis dan emosional. Psikoterapi atau konseling individu, terapi kelompok, atau kelompok pendukung dan self-help group dapat membantu wanita yang teraniaya mengatasi trauma yang mereka alami dan mulai membina hubungan yang baru dan lebih sehat. Pemukulan juga dapat mengakibatkan gangguan stres pascatrauma. Hal yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam menangani korban penganiayaan pasangan Hal yang tidak dapat dilakukan Hal yang dapat dilakukan 1. Jangan membocorkan komunikasi klien tanpa persetujuan klien. 2. Jangan menggurui, mengatakan hal-hal tentang moral, atau memberi kesan bahwa anda meragukan klien. 3. Jangan meremehkan dampak kekerasan. 4. Jangan mengungkapkan kemarahan pada pelaku penganiayaan. 5. Jangan memberi kesaan klien bertanggung jawab atas penganiayaan yang dialaminya. 6. Jangan merekomendasikan konseling pasangan. 7. Jangan mengarahkan klien untuk meninggalkan hubungan. 8. Jangan membebani klien dan lakukan semua untuk klien. 1. Pastikan dan jaga kerahasiaan klien. 2. Dengarkan, pastikan, dan katakan, “saya turut menyesal bahwa Anda telah disakiti.” 3. Ungkapkan : “saya peduli akan keselamatan Anda.” 4. Katakan pada korban : “ Anda memiliki hak untuk merasa aman dan dihormati.” 5. Katakan : “penganiayaan yang Anda alami bukan salah Anda.” 6. Rekomendasikan suatu kelompok pendukung atau konseling individu. 7. Identifikasi sumber di masyarakat dan dorong klien untuk mengembangkan rencana keamanan. 8. Tawarkan bantuan kepada klien dalam menghubungi tempat penampungan, polisi, atau sumber lain. Pertanyaan SAFE 1. Stress/Safety (stres/keamanan): stress seperti apa yang Anda alami dalam hubungan Anda? Apakah Anda merasa aman dalam hubungan Anda? Perlukah saya mengkhawatirkan keselamatan Anda? 2. Afraid/Abused (takut/dianiaya) : apakah ada situasi dalam hubungan Anda yang membuat Anda merasa takut? Apakah pasangan Anda pernah mengancam atau menganiaya Anda atau anak-anak Anda? Apakah Anda secara fisik pernah disakiti atau diancam oleh pasangan Anda? Anda berada dalam hubungan seperti itu saat ini? Apakah pasangan Anda pernah memaksa Anda untuk melakukan hubungan seksual ketika Anda tidak menginginkannya? Orang-orang dalam hubungan/pernikahan sering kali bertengkar, apa yang terjadi ketika Anda dan pasangan Anda berbeda pendapat? 3. Friends/Family (teman/keluarga) : apakah teman Anda menyadari bahwa Anda disakiti? Apakah orang tua atau saudara kandung Anda tahu tentang penganiayaan ini? Menurut Anda apakah Anda dapat menyampaikannya kepada mereka dan dapatkah mereka memberi Anda dukungan? 4. Emergency plan (rencana kedaruratan): apakah Anda memiliki tempat yang aman untuk pergi dan dukungan yang Anda (dan anak-anak) butuhkan dalam keadaan darurat? Jika Anda berada dalam bahaya saat ini, apakah Anda memerlukan bantuan dalam mencari tempat tinggal? Apakah Anda ingin berbicara dengan pekerja sosial/konselor/saya untuk mengembangkan rencana kedaruratan? 3. Penganiayaan Anak Penganiayaan anak atau perlakuan semena-mena terhadap anak umumnya didefinisikan sebagai cedera yang sengaja dilakukan terhadap seorang anak dan dapat mencakup penganiayaan atau cedera fisik, pengabaian atau kegagalan mencegah bahaya, kegagalan memberi perawatan atau pengawasan emosional atau fisik yang adekuat, penelantaran, penyerangan atau intrusi seksual, dan menyiksa secara terbuka atau mencederai (Bierne, 2000). Tipe penganiayaan Anak Penganiayaan fisik pada anak sering kali terjadi akibat hukuman fisik yang berat dan tidak masuk akal, atau hukuman yang tidak dapat dibenarkan, misalnya memukul bayi yang menangis atau mengotori popoknya. Tindak kekerasan yang sengaja dilakukan pada anak antara lain membakar, menggigit, memotong, meninju, memelintir ekstremitas, atau menyiram dengan air panas. Korban sering kali memiliki tanda bekas cedera, seperti jaringan parut, fraktur yang tidak diobati, atau banyak memar pada berbagai tingkat usia, tidak dapat dijelaskan secara adekuat oleh riwayat yang disampaikan orang tua atau pengasuh (Lego, 1996). Penganiayaan seksual meliputi tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Tindakan ini dapat mencakup inses, pemerkosaan, dan sodomi, yang dilakukan oleh seseorang atau dengan suatu benda, kontak oral-genitalia, dan tindakan cabul seperti menggesek, meraba, atau memperlihatkan kelamin orang dewasa. Penganiayaan seksual dapat berupa insiden tunggal atau episode multipel selama periode waktu yang lama. Tipe kedua penganiayaan seksual meliputi eksploitasi, misalnya membuat, mengumumkan, atau menjual pornografi yang melibatkan anak kecil dan memaksa anak kecil melakukan tindakan cabul. Pengabaian adalah tindakan menyakiti atau mengabaikan kebutuhan fisik, emosional, atau pendidikan untuk kesejahteraannya. Penganiayaan anak melalui pengabaian adalah tipe penganiayaan yang paling sering terjadi dan mencakup penolakan untuk mencari perawatan kesehatan atau menunda melakukan hal tersebut; penelantaran; pengawasan yang tidak adekuat; ceroboh dan tidak peduli terhadap keamanan anak; tindakan menghukum, eksploitasi, atau perlakuan emosional yang abusiver; penganiayaan pasangan di depan anak; memberi izin membolos kepada anak; atau tidak mendaftarkan anak masuk sekolah. Penganiayaan psikologis (penganiayaan emosional) meliputi serangan verbal seperti menyalahkan, meneriaki, mengejek, dan sarkasme; ketidakharmonisan keluarga yang terus-menerus, yang ditandai oleh pertengkaran, saling meneriaki, dan kekacauan; serta deprivasi emosional atau tidak memberi kasih sayang asuhan dan pengalaman normal yang meningkatkan perasaan menerima, cinta, keamanan, serta harga diri. Penganiayaan emosional sering terjadi bersama tipe penganiayaan yang lain, seperti penganiayaan fisik atau penganiayaan seksual. Sering melihat orang tua mengonsumsi alkohol, menggunakan obat-obatan, atau terlibat dalam prostitusi, dan pengabaian yang diakibatkannya, juga dapat dimasukkan dalam kategori ini. Gambaran Klinis Orang tua yang menganiaya anak mereka sering kali sedikit memiliki pengetahuan dan keterampilan menjadi orang tua. Mereka mungkin tidak memahami atau mengetahui kebutuhan anak mereka atau mereka mungkin marah atau frustasi karena mereka secara emosional atau secara finansial tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Walaupun kurangnya pendidikan dan kemiskinan merupakan berberapa faktor yang menimbulkan penganiayaan dan pengabaian anak, faktor tersebut tidak menjelaskan fenomena penganiayaan anak secara keseluruhan. Ada banyak insiden penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga yang tampak memiliki segalanya---orang tua berpendidikan, memiliki karir yang sukses, dan kondisi keuangan keluarga yang stabil. Orang tua yang menganiaya anak mereka sering kali belum dewasa secara emosional dan sangat miskink tidak mampu memenuhi kebutuhan anak. Seperti dalam penganiayaan pasangan, anak yang dianiaya sering dianggap sebagai hak milik orang tua yang menganiaya. Anak-anak tidak dihargai sebagai orang yang memiliki hak dan perasaan. Pada beberapa kasus, orang tua merasakan kebutuhan untuk memiliki anak dengan tujuan mengganti masa kanak-kanaknya yang tidak bahagia dan mengecewakan. Orang tua ingin merasakan cinta antara anak dan orang tua yang tidak dimilikinya ketika ia kanak-kanak. Harapan yang tidak realistis untuk memiliki anak yang sangat besar dalam aspek emosional, fisik, dan finansial. Ketika harapan orang tua yang tidak realistis ini tidak dipenuhi, orang tua sering kembali menggunakan metode yang juga digunakan orang tuanya. Kecenderungan orang dewasa membesarkan anak mereka dengan cara yang sama seperti membesarkan mereka, membentuk siklus kekerasan dalam keluarga. Orang dewasa yang menjadi korban penganiayaan pada masa kanak-kanak sering menjadi penganiaya anak mereka sendiri (Biernet, 2000). A. Pengkajian Seperti pada semua tipe kekerasan dalam keluarga,deteksi dan identifikasi yang akurat adalah langkah pertama yang dilakukan. Dari seluruh kasus penganiayaan anak, 10% adalah kasus luka bakar atau cedera akibat siraman air panas. Luka bakar dapat memiliki bentuk yang dapat diidentifikasi, misalnya luka bakar akibat sundutan rokok, atau mungkin memiliki tanda “belang,” yang menunjukkan cedera akibat siraman air panas orang tua dari bayi yang mengalami fraktur tengkorak yang berat mungkin melaporkan bahwa bayi “jatuh dari sofa,” walaupun anak tersebut terlalu kecil untuk bisa mengalami hal itu atau cedera terlalu berat jika dikarenakan jatuh dari ketinggian 20 inci (Ladebauche, 1997). Anak-anak yang pernah mengalami penganiayaan seksual dapat terjangkit infeksi saluran kemih; genital memar, merah, atau bengkak; rektum atau vagina robek dan memar. Respons emosional anak-anak yang mengalami penganiayaan sangat bervariasi. Anak-anak ini sering kali berbicara atau berperilaku yang menunjukkan seolah mereka memiliki pengetahuan yang lebih tentang isu seksual daripada anak-anak seusia mereka. Pada waktu selanjutnya, korban merasa takut dan cemas serta mungkin dekat dengan orang dewasa atau sama sekali menolak perhatian orang dewasa. Kuncinya ialah mengenali ketika perilaku anak berada di luar keadaan normal yang diharapkan untuk usia dan tahap perkembangan anak tersebut. Perilaku yang tampaknya tidak dapat dijelaskan, dari menolak makan sampai perilaku agresif terhadap teman sebaya, dapat mengindikasikan penganiayaan. Perawat tidak harus menetapkan dengan pasti bahwa penganiayaan telah terjadi. Perawat bertanggung jawab melaporkan kecurigaan penganiayaan anak dengan akurat dan dokumentasi data pengkajian yang teliti. Lima puluh negara memiliki undang-undang yang mewajibkan perawat untuk melaporkan kecurigaan adanya penganiayaan. Undang-undang ini sering disebuat undang-undang wajib lapor. Perawat baik sendiri atau bekerja sama dengan anggota tim kesehatan yang lain, seperti dokter atau pekerja sosial, dapat melaporkan kecurigaan penganiayaan kepada pihak yang berwenang dalam pemerintah setempat yang tepat. Di beberapa negara bagian, pihak yang berwenang antara lain Child Protective Services, Children and Family Services, atau Department of Health. Nomor yang dapat dihubungi dapat ditemukan dalam buku telepon lokal. Nama pelapor dapat tetap dirahasiakan jika diinginkan. Individu yang bekerja di institusi tersebut memiliki pendidikan khusus dalam penyelidikan kasus penganiayaan. Pertanyaan harus diajukan dengan cara yang tidak membuat anak semakin trauma atau menghambat tindakan hukum yang dapat terjadi. Perawat umum tidak perlu melanjutkan penyelidikan pada anak. Tindakan tersebut dapat lebih merugikan daripada menguntungkan. B. Diagnosa Keperawatan 1. Tidak efektifnya koping keluarga; kompromi berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan Child Abuse 2. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan anak berhubungan dengan tidak adekuatnya perawatan 3. Resiko perilaku kekerasan oleh anggota keluarga yang lain berhubungan dengan kelakuan yang maladaptive. 4. Peran orang tua berubah berhubungan dengan ikatan keluarga yang terganggu. C. Terapi dan Intervensi Bagian pertama terapi pada penganiayaan atau pengabaian anak ialah memastikan keamanan dan kesejahteraan anak (Biernet, 2000). Hal ini dapat mencakup pemindahan anak dari rumah, yang juga dapat menjadi tindakan traumatik. Evaluasi psikiatri yang seksama juga diindikasikan dengan mempertimbangkan risiko tinggi masalah psikologis. Mengembangkan hubungan saling percaya dengan ahli terapi sangat penting untuk membantu anak menghadapi trauma penganiayaan. Terapi dapat diindikasikan selama periode waktu yang signifikan, bergantung pada keparahan dan durasi penganiayaan serta respon anak. Terapi jangka panjang untuk anak biasanya melibatkan profesional dari berbagai disiplin, seperti psikiatri, kerja sosial, psikologi, dan ahli terapi lain. Anak yang masih sangat kecil paling baik berkomunikasi melalui terapi bermain, ketiak ia menggambar atau bermain boneka, bukan dengan membicarakan apa yg telah terjadi atau membicarakan perasaannya. Institusi pelayanan sosial terlihat dalam menentukan apakah mungkin mengembalikan anak ke rumah orang tuanya jika orang tua dapat menunjukkan manfaat terapi. Terapi keluarga dapat diindikasikan jika terapi tersebut memungkinkan untuk menyatukan keluarga kembali. Orang tua mungkin memerlukan terapi psikiatri atau terapi penyalahgunaan zat. Apabila anak tidak mungkin kembali ke rumah, pelayanan foster care dapat diindikasikan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. D. Evaluasi Keperawatan 1) Mekanisme koping keluarga menjadi efektif 2) Perkembangan kognitif anak, psikomotor dan psikososial dapat disesuaikan dengan tingkatan umurnya 3) Perilaku kekerasan pada keluarga dapat berkurang 4) Perilaku orang tua yang kasar dapat menjadi lebih efektif 4. Penganiayaan Lansia Penganiayaan lansia adalah perlakuan semena-mena terhadap lansia oleh anggota keluarga atau orang-orang yang merawat mereka. Penganiayaan tersebut mencakup penganiayaan fisik dan seksual, penganiayaan psikologis, pengabaian, pengabaian diri, eksploitasi finansial, menolak terapi medis yang adekuat. Diperkirakan bahwa setengah juta lansia dianiaya atau diabaikan dalam rumah tangga dan perbandingan antara insiden penganiayaan atau pengabaian yang tidak dilaporkan dan yang dilaporkan adalah lima banding satu. Pelaku hampir 60% adalah pasangan, 20% anak yang sudah dewasa, dan 20% orang lain, seperti saudara kandung, cucu, dan orang yang indekos (Lego, 1996). Kebanyakan korban penganiayaan lansia berusia 75 tahun atau lebih, atau 60% sampai 65% adalah wanita. Penganiayaan lebih cenderung terjadi ketika lansia mengalami banyak masalah kesehatan fisik dan gangguan jiwa yang kronis, dan saat lansia bergantung pada orang lain dalam memperoleh makanan, perawatan medis, dan melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Individu yang menganiaya lansia hampir selalu merupakan orang yang merawat lansia tersebut, atau lansia bergantung pada mereka dalam beberapa hal. Kebanyakan kasus penganiayaan lansia terjadi ketika salah satu lansia merawat pasangannya. Tipe penganiayaan pasangan ini biasanya terjadi selama bertahun-tahun setelah disabilitas membuat pasangan yang dianiaya tidak mampu merawat dirinya sendiri. Apabila penganiaya adalah anak yang sudah dewasa, anak lelaki memiliki kemungkinan dua kali lebih besar sebagai pelaku daripada anak perempuan. Penganiayaan lansia juga dapat diperburuk oleh gangguan jiwa atau penyalahgunaan zat yang dialami orang yang merawat lansia (Goldstein, 2000). Lansia sering kali enggan melaporkan penganiayaan yang dialaminya walaupun mereka dapat melakukannya karena biasanya hal itu melibatkan anggota keluarga yang ingin dilindunginya. Korban juga sering takut kehilangan dukungan mereka dan dipindahkan ke suatu institusi. Tidak ada perkiraan secara rasional jumlah kasus penganiayaan lansia yang tinggal di institusi secara nasional. Di bawah mandat pemerintah federal tahun 1978, petugas penyelidik diizinkan mengunjungi nursing home untuk memeriksa praktik perawatan lansia. Petugas penyelidik tersebut tetap melaporkan bahwa penganiayaan lansia bisa dilakukan di institusi (Goldstein, 2000). Gambaran klinis Korban dapat mengalami memar atau fraktur, tidak memiliki kacamata atau alat bantu dengar yang mereka butuhkan, tidak mendapatkan makanan, cairan, atau obat-obatan, atau mungkin direstrein di kursi atau tempat tidur. Penganiayaan dapat menggunakan sumber finansial korban untuk kesenangannya sendiri, sementara lansia tidak dapat membeli makanan atau obat-obatan. Perawatan medis itu sendiri tidak diberikan kepada lansia yang menderita penyakit akut atau kronis. Pengabaian diri ialah kegagalan lansia untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. A. Pengkajian Pengkajian yang cermat tentang lansia dan hubungan dengan orang yang merawat lansia sangat penting dalam mendeteksi penganiayaan lansia. Sering kali sulit menentukan apakah kondisi lansia disebabkan oleh deteriorasi yang terkait dengan penyakit kronis atau akibat penganiayaan. Ada beberapa indikator potensial tindakan penganiayaan yang memerlukan pengkajian lebih lanjut dan evaluasi memerlukan pengkajian lebih lanjut dan evaluasi yang cermat. Penganiayaan harus dicurigai jika ada cedera yang disembunyikan atau tidak diobati, atau cedera yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diberikan. Cedera tersebut dapat mencakup luka terpotong, laserasi, luka tusuk, memar atau bilur, atau luka bakar. Luka bakar dapat berupa luka akibat sundutan rokok, luka akibat siraman asam atau bahan kaustik, atau luka akibat friksi pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki karena direstrein dengan tali, kain, atau rantai. Tanda-tanda pengabaian fisik berupa bau pesing atau bau tinja yang menyebar, terlihat kotor, terdapat ruam, luka, kutu, atau pakaian yang tidak adekuat. Dehidrasi atau kurang gizi yang bukan karena penyakit tertentu juga merupakan indikator kuat adanya penganiayaan. Indikator penganiayaan emosional atau psikologis yang mungkin antara lain lansial yang ragu-ragu berbicara terbuka kepada perawat atau terlihat takut, menarik diri, depresi, dan tidak berdaya. Lansia juga dapat memperlihatkan kemarahan atau agitasi karena alasan yang tidak jelas. Ia mungkin menyangkal adanya masalah walaupun fakta menunjukkan sebaliknya. Indikator pengabaian diri yang mungkin berupa ketidakmampuan mengatur keuangan (mengumpulkan uang atau menghamburkan uang padahal tidak dapat membayar tagihan), ketidakmampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (perawatan diri, berbelanja, menyiapkan makanan, dan kebersihan), dan perubahan fungsi intelektual (bingung, disorientasi, respons yang tidak tepat, kehilangan memori, dan isolasi). Indikator pengabaian diri yang lain meliputi tanda-tanda malnutrisi atau dehidrasi, ruam atau luka-luka pada tubuh, bau pesing atau bau tinja, atau tidak melakukan pemeriksaan medis yang diperlukan. Untuk mendiagnosis pengabaian diri, hasil evaluasi harus menunjukkan bahwa lansia tidak mampu mengatur kehidupan sehari-hari dan merawat dirinya sendiri. Pengabaian diri tidak dapat ditetapkan hanya berdasarkan keyakinan anggota keluarga bahwa lansia tidak dapat mengatur keuangannya. Misalnya, seorang lansia tidak dapat dianggap mengabaikan diri sendiri hanya karena ia menyerahkan sejumlah besar uang kepada suatu kelompok, menymbang, atau menginvestasikan uangnya di beberapa bisnis berisiko yang tidak disetujui anggota keluarga. Tanda-tanda peringatan eksploitasi atau penganiayaan finansial antara lain banyak tagihan yang belum dilunasi (padahal klien memiliki cukup uang untuk membayarnya), transaksi perbankan yang tidak lazim cek yang ditandatangani oleh seseorang selain lansia, atau perubahan terbaru surat warisan atau pemberian kausa kepada pengacara saat lansia tidak mampu membuat keputusan tersebut. Lansia mungkin tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dapat ia peroleh, seperti pakaian, barang pribadi, atau televisi. Lansia mungkin melaporkan kehilangan barang-barang yang berharga dan melaporkan bahwa ia tidak berhubungan lagi dengan teman atau kerabatnya. Perawat juga dapat mendeteksi kemungkinan indikator penganiayaan dari orang yang merawat lansia. Orang tersebut mungkin mengeluh sulitnya merawat lansia atau mengeluh tentang inkontinensia, kesulitan dalam memberi makan, atau biaya pengobatan yang berlebihan. Orang ini mungkin memperlihatkan kemarahan atau tidak peduli terhadap lansia dan mencoba mencegah perawat berbicara berdua dengan lansia penganiayaan lansia lebih cenderung terjadi ketika orang yang merawat lansia memiliki riwayat kekerasan dalam keluarga atau masalah penyalahgunaan obat atau alkohol. Beberapa negara bagian memiliki undang-undang wajib lapor untuk penganiayaan lansia dan negara lain hanya memiliki undang-undang pelaporan sukarela. Perawat harus mengetahui undang-undang atau hukum tentang pelaporan kasus penganiayaan di negara bagian mereka sendiri. Banyak kasus masih belum dilaporkan. Institusi setempat yang menangani lansia dapat menyediakan prosedur untuk pelaporan kasus penganiayaan sesuai dengan undang-undang negeri bagian. Untuk menemukan institusi setempat, hubungi pusat informasi nasional 1-800-677-1116. B. Terapi dan Intervensi Penganiayaan lansia dapat terjadi secara bertahap ketika beban pemberian perawatan melebihi sumber fisik atau emosional orang yang merawat. Dengan mengurangi stres orang yang merawat dan menyediakan sumber tambahan, dapat membantu memperbaiki situasi yang abusive sehingga hubungan pemberian perawatan tetap utuh. Pada kasus lain, pengabaian atau penganiayaan dilakukan dengan sengaja dan dirancang untuk memberikan manfaat personal untuk orang yang merawat, misalnya akses ke sumber finansial korban. Pada situasi seperti ini, lansia perlu dipindahkan atau orang yang merawat lansia dipindahkan. Indikator Penganiayaan Lansia Yang Mungkin Indikator penganiayaan fisik a. Adanya cedera yang tidak dapat dijelaskan dan sering disertai kebiasaan mencari bantuan medis dari berbagai tempat b. Enggan mencari terapi medis untuk cedera atau menyangkal adanya cedera c. Disorientasi atau grogi, yang menunjukkan penyalahgunaan obat-obatan d. Takut atau gugup ketika ada anggota keluarga yang merawat Indikator penganiayaan psikologis atau emosional a. Tidak berdaya b. Ragu-ragu untuk berbicara terbuka c. Marah atau agitasi d. Menarik diri atau depresi Indikator penganiayaan finansial a. Transaksi perbankan yang tidak lazim atau tidak tepat b. Tanda tangan pada cek yang berbeda dari tanda tangan lansia c. Perubahan terbaru surat warisan atau pemberian kuasa pada pengacara ketika lansia tidak mampu membuat keputusan tersebut d. Kehilangan barang berharga yang bukan hanya karena salah meletakkan e. Tidak memiliki televisi, pakaian, atau barang pribadi yang dapat diperoleh dengan mudah f. Kekhawatiran orang yang merawat lansia yang tidak lazim tentang biaya pengobatan biaya pengobatan lansia padahal bukan uang orang yang merawat tersebut yang digunakan Indikator Pengabaian a. Terlihat kotor, bau pesing atau bau tinja, atau hal lain yang membahayakan kesehatan di lingkungan hidup lansia b. Ada ruam, luka, atau kutu pada lansia c. Lansia mengalami kondisi medis yang tidak diobati, kurang gizi, atau dehidrasi yang tidak berhubungan dengan suatu penyakit yang diketahui d. Pakaian tidak adekuat Indikator pengabaian diri a. Ketidakmampuan mengatur keuangan pribadi, misalnya mengumpulkan uang, menghamburkan uang, atau menyumbangkan uang padahal tidak dapat membayar tagihan b. Ketidakmampuan mengatur aktivitas hidup sehari-hari, misalnya perawatan diri, berbelanja, pekerjaan rumah tangga c. Keluyuran, menolak penanganan medis yang dibutuhkan isolasi, penggunaan zat d. Tidak melakukan pemeriksaan medis yang diperlukan e. Bingung, kehilangan memori, tidak responsif f. Tidak memiliki fasilitas toilet, tinggal di tempat yang terdapat banyak hewan penyebar penyakit Indikator peringatan dari orang yang merawat a. Lansia tidak diberi kesempatan untuk berbicara, menerima kunjungan, atau bertemu seseorang tanpa kehadiran orang merawat b. Sikap tidak peduli atau marah terhadap lansia c. Menyalahkan lansia karena keterbatasan atau penyakitnya d. Sikap defensif e. Selalu bertentangan ketika membicarakan kemampuan, masalah, dan hal lain tentang lansia f. Riwayat sebelumnya tentang penganiayaan atau masalah penyalahgunaan alkohol atau obat Tanda-Tanda Peringatan pada Anak Yang Mengalami Penganiayaan/Pengabaian 1. Cedera serius seperti fraktur, luka bakar, dan laserasi tanpa ada laporan riwayat trauma 2. Menunda mencari terapi untuk cedera yang berat 3. Anak atau orang tua menjelaskan riwayat cedera yang tidak sesuai dengan tingkat keparahan cedera, misalnya bayi yang mengalami cedera contre-coup pada otaknya (shaken baby syndrome), yang dinyatakan orang tua terjadi karena bayi jatuh dari sofa 4. Riwayat anak yang dijelaskan selama evaluasi tidak konsisten atau berubah-ubah baik oleh anak itu sendiri ataupun orang tuanya 5. Cedera yang tidak lazim untuk usia dan tingkat perkembangan anak, misalnya fraktur femur pada anak usia dua bulan atau dislokasi bahu pada anak usia dua tahun 6. Insiden infeksi saluran kemih tinggi, genital memar, merah, atau bengkak, rektum atau vagina robek atau memar 7. Terdapat bekas luka yang tidak dilaporkan, misalnya jaringan parut, fraktur yang tidak diobati, banyak memar yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat oleh orang tua/pengasuh